Selasa, 26 Januari 2010

Sosiologi di Sekolah & di Perguruan Tinggi

Gambar yang mengilustrasikan tentang jaringan sosial manusia ini diunggah dari sini

Sosiologi di Sekolah & di Perguruan Tinggi

Sosiologi di Sekolah

“Sosiologi di sekolah” di sini berarti sosiologi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Madrasah Aliyah (MA). Terkecuali di perguruan tinggi (PT), mata pelajaran itu pun baru diberikan dan hanya diberikan pada jenjang SMA maupun MA. Jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ada mata pelajaran sosiologi. Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Dasar (SD), dan Taman Kanak-Kanak (TK), apalagi Play Group (PG), juga tidak ada mata pelajaran sosiologi.

Mengapa sosiologi diajarkan di SMA maupun MA, sementara ilmu yang lain seperti psikologi tidak diajarkan? Mengapa pula antropologi ditiadakan dan rupanya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sosiologi? Karena politik pendidikan yang terwujud dalam kurikulum-lah yang menjadi alasan umum sosiologi diajarkan di bangku SMA maupun MA. Lagi pula, misalnya beberapa konsep psikologi juga diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sosiologi.

Pengintegrasian itu tentu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kedudukan mana yang lebih unggul dari kedua ilmu itu. Malah keduanya bisa saling melengkapi. Apabila kembali pada politik pendidikan dan sifat kedua ilmu tersebut maka sudut pandang sosiologi lebih makro, sedangkan psikologi lebih mikro. Di kemudian hari, perbedaan sudut pandang itu memengaruhi kelebihan maupun kelemahan dari kedua ilmu tersebut.

Tujuan mata pelajaran sosiologi pun telah diuraikan dalam standar kompentensi kurikulum sosiologi untuk SMA dan MA yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2003. Dalam uraiannya, misalnya disebutkan kekaburan pengajaran sosiologi dan antropologi. Dalam standar itu juga disebutkan sosiologi diberikan sejak kelas X atau yang dulu bernama kelas I.

Sebelum tahun 2005 sosiologi baru diajarkan pada kelas 2 SMA atau MA. Jadi, kelas 1 tidak diajarkan mata pelajaran sosiologi. Sebelum tahun itu pun penjurusan ada di kelas 3, yakni kelas atau program IPA, IPS, maupun bahasa. Akan tetapi, setelah tahun 2005 penjurusan sudah diterapkan sejak kelas 2. Lepas dari bahasan ini, penjurusan pada kelas 2 itu pun lebih meringankan siswa yang kemampuan mata pelajaran berhitungnya lemah.

Seiring dengan perubahan penjurusan itu pula, sosiologi diajarkan pada kelas 1. Pada saat yang sama, perubahan itu pun juga terjadi, misalnya penamaan kelas yang berubah sesuai urutan sejak sekolah dasar, yakni kelas VII, VIII, IX untuk jenjang SMP, sedangkan X, XI, XII untuk jenjang SMA. Pengajaran sosiologi sejak kelas X juga untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi ujian nasional (UN).

Dalam kaitan itu, pengajaran sosiologi tidak semata-mata bertujuan pada hasil nilai di rapot maupun di ijasah. Meskipun hal itu sering dianggap penting, tetapi pengajaran sosiologi, termasuk pengajaran mata pelajaran yang lain, tidaklah sesempit itu. Pendidikan mencakup banyak hal dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan dapat berarti pembentukan karakter, proses regenerasi, pemeliharaan peradaban, stabilisasi negara, dan seterusnya.

Materi-materi sosiologi di sekolah ini secara umum masih berupa konsep umum. Malah terkadang konsep-konsep tersebut asing dalam kenyataan yang sesungguhnya atau dalam kenyataan sehari-hari. Di sinilah kreatifitas guru ditantang untuk menjalankan perannya sebaik-baiknya. Dengan demikian, harapannya tidak menjadikan konsep-konsep sosiologi sebagai hal yang kaku atau harga mati.

Kiranya perlu ada kritik terkait dengan konsep-konsep sosiologi dalam materi-materi di sekolah. Konsep-konsep itu adalah hasil abstraksi atas kenyataan, yakni dunia sosial. Sementara itu, konsep-konsep sosiologi dalam bentuk materi pelajaran di SMA maupun MA terkesan statis. Padahal, kehidupan tempat siswa maupun guru berjalan dengan dinamis.

Sementara itu, definisi-definisi konsep dalam buku-buku mata pelajaran sosiologi banyak yang mengutip dari sejumlah tokoh luar negeri. Tentu itu tidak salah, di samping mungkin karena sedikitnya konsep-konsep dalam negeri. Sekali lagi, tidaklah jadi soal apabila konsep-konsep dari tokoh luar negeri itu sebagai pengenalan. Namun, konsep-konsep itu belum tentu sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Hal itu juga mengingat sistem sosial (termasuk sistem ekonomi, sistem politik, sistem budaya, dst) di Indonesia berbeda dengan, misalnya di Eropa maupun di Amerika.

Mengingat posisi sosiologi seperti itu, tentu ada hal yang penting untuk dicatat kembali. Sosiologi pada dasarnya adalah alat. Katakanlah sosiologi itu ibarat sebuah kacamata dalam memandang kehidupan manusia. Sementara tidak hanya sosiologi saja yang mengkaji kehidupan manusia. Ilmu hukum, ilmu psikologi, ilmu agama juga membicarakan tentang manusia. Jadi, masih ada kacamata-kacamata lain.


Pembelajaran Sosiologi di SMA maupun MA

Sekolah tergolong bentuk pembelajaran yang diprogramkan. Kegiatan belajar di kelas lengkap dengan rencana pembelajaran, absensi, materi pembelajaran, keberadaan guru sampai pada evaluasi pembelajaran merupakan perwujudan dari pembelajaran yang diprogramkan ini. Hal yang mencolok dari pembelajaran tersebut lewat mata pelajaran-mata pelajaran yang ada di SMA maupun MA.

Dalam hal ini sosiologi merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di SMA maupun MA. Sebagaimana telah ditulis di atas, sosiologi diajarkan semenjak kelas X. Dalam praktik pembelajarannya lebih banyak menggunakan model ceramah dari guru ke siswa. Di samping itu, juga ada model diskusi antara guru-siswa dan sebaliknya. Diskusi itu juga memungkinkan antar siswa. Kemudian, seiring tuntutan kurikulum, belakangan ini terkadang guru mengajak siswa pergi ke suatu tempat (dikenal dengan kunjungan lapangan) yang dianggap sebagai sasaran kajian sosiologis.

Konsep maupun pembelajaran sosiologi baik di SMA maupun di MA umumnya sama meskipun SMA dan MA memiliki ciri yang berbeda. SMA lebih bersifat umum daripada MA yang lebih agamais. Ada beberapa mata pelajaran yang diberikan di MA, tetapi tidak diberikan di SMA. Misalnya, bahasa Arab. Dalam hal ini posisi sosiologi bersifat bebas nilai sebagaimana itu menjadi salah satu sifat sosiologi.

Jika mencermati buku-buku mata pelajaran sosiologi maka hampir semuanya karya orang-orang yang menggeluti sosiologi nonkependidikan atau sosiologi murni yang notabene berada di PT di universitas. Dengan demikian, orang-orang kependidikan yang fokus pada jenjang SMA maupun MA memakai karya dari orang-orang yang menggeluti sosiologi nonkependidikan dalam pembuatan buku mata pelajaran sosiologi. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, pembuatan buku mata pelajaran sosiologi itu pun tidak melulu memakai referensi buku yang berjudul “sosiologi”.

Sementara itu, soal-soal sosiologi baik dalam bentuk ujian semester maupun ujian nasional tentu juga tidak terlalu jauh dari konsep yang ada di buku mata pelajaran sosiologi. Hanya saja tipe soal lebih variatif sekaligus pengembangan dari konsep-konsep yang ada di buku mata pelajaran. Meskipun ilmu sosial (misalnya sosiologi) dinilai memiliki akurasi analisis yang lebih rendah daripada ilmu alam (misalnya ilmu kimia), pengerjaan soal pun memerlukan nalar. Hal itu berlaku pada pembuatan soal-soal sosiologi di SMA dan MA.

Umumnya mata pelajaran sosiologi maupun ujian mata pelajaran sosiologi tidak menjadi momok bagi siswa. Maka dari itu, siswa bisa saja lebih pintar dari guru sosiologi dalam menjawab soal. Hal itu, antara lain, karena mata pelajaran sosiologi dinilai sebagai mata pelajaran yang mudah. Misalnya dibandingkan dengan ekonomi/akuntasi. Itu dapat dilihat dari rata-rata nilai sosiologi pada ujian nasional. Kendatipun mudah, tetapi perolehan nilai ujian nasional agaknya tetap bertengger pada angka 7,5 dari nilai 10. Tentu saja itu sebatas prediksi dalam lingkup kabupaten.


Sosiologi di Perguruan Tinggi

Sosiologi di perguruan tinggi di Indonesia umumnya ada di universitas. Setiap universitas pun memiliki kebijakan sendiri terkait dengan keberadaan sosiologi. Di Universitas Jember (Unej) sosiologi ada di Program Studi (Prodi) Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sementara itu, di Universitas Indonesia (UI), sosiologi ada di Departemen Sosiologi. Jenjang pendidikan sosiologi sendiri adalah sarjana atau strata 1. Sementara itu, kebanyakan sosiologi di Indonesia tergolong nonkependidikan.

Meskipun bidang akademis sosiologi untuk program IPS, tetapi lulusan IPA juga dapat mengambil bidang tersebut. Dalam universitas hal seperti ini umum terjadi. Selain itu, secara umum lulusan IPA biasanya banyak yang mengambil bidang akademis yang sebetulnya diperuntukkan bagi lulusan IPS. Sebaliknya, lulusan IPS yang mengambil bidang akademis IPS tergolong langka. Memang, pada akhirnya itu dipengaruhi oleh kemampuan individu dan citra sekolah maupun kampus.

Sebagaimana umumnya dalam universitas, dikenal sistem kredit semester (SKS) dalam kegiatan belajar mengajarnya. Hal itu memungkinkan mahasiswa yang secara kemampuan akademis nilainya stabil maka akan lulus dengan tepat waktu, yakni rata-rata empat tahun. Tentu saja SKS ini berbeda dengan kegiatan belajar mengajar di jenjang SMA. Beban SKS untuk program sarjana sendiri minimal 144 SKS. Artinya, untuk meraih gelar sarjana maka seorang mahasiswa harus mengumpulkan minimal 144 SKS yang diambil setiap awal semester.

SKS itu sendiri ada dalam setiap mata kuliah. Misalnya, Sosiologi Agama memiliki 3 SKS; Teori Sosiologi I memiliki 4 SKS; Psikologi Sosial memiliki 2 SKS. Tentu hal seperti ini cukup mudah dipahami oleh mahasiswa, yakni dengan membaca buku panduan yang diberikan saat awal-awal masuk kuliah.

Sepengetahuan saya saat masih kuliah di universitas yang konon “pinggiran” dan “bukan favorit”, mahasiswa atau teman-teman saya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mengikuti perkuliahan. Artinya, selama mereka menempuh studi sarjana umumnya mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan. Kiranya dengan hasil tes IQ kisaran 100 maka mungkin mudah berkuliah di bidang akademis sosiologi. Saya sendiri hasil tes IQ saat awal masuk SMA hanya 96. Hanya saja pada semester VII sejumlah mahasiswa biasanya kesulitan mengerjakan skripsi. Itu pula biasanya yang memperlambat kelangsungan studi. Itu pun saya alami sendiri.

Kemudian, di PT juga ada S-2 sosiologi maupun S-3 sosiologi. Namun, dua jenjang itu hanya ada di PT tertentu, misalnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Umumnya pembelajaran di S-2 maupun S-3 relatif sama, yakni dengan SKS.















Televisi

gambar diunggah dari sini
Televisi

Saya masih ingat. Kira awal tahun 1990-an, di dusun saya, jika ingin melihat siaran televisi maka perlu pergi ke rumah seorang tetangga. Saya sendiri waktu mengalaminya dan saat itu kira-kira saya baru berumur tujuh tahun. Maklum, saat itu satu dusun hanya satu orang saja yang memiliki televisi. Itu pun televisi hitam putih ukuran 14 inch. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu acara favorit adalah ludruk yang ditayangkan pada siang hari. Dengan keadaan seperti itu maka bisa dibayangkan, kegiatan menonton televisi itu seperti suasana gedung bioskop.

Namun, aktifitas menonton televisi itu tidak bisa dilakukan setiap hari. Itu bergantung pada pemilik televisi, apakah saat itu menyalakan televisi ataukah tidak. Maka dari itu, meskipun menonton televisi itu tidak gratis, tetapi hanya pada jam-jam tertentu dan hari tertentu saja orang-orang dapat menyaksikan televisi di rumah orang yang memiliki televisi.

Waktu itu, televisi memang masih menjadi barang mewah. Hampir dapat dipastikan bahwa orang yang memiliki televisi adalah orang yang cukup berada. Saat itu pun televisi masih dikenai pajak yang dihitung pada setiap bulannya. Kemewahan itu pun berkaitan dengan stasiun televisi saat itu, yakni hanya stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Aliran listrik pun pada tahun tersebut belum masuk ke dusun saya. Sementara itu, untuk menyalakan televisi maka digunakanlah aki basah. Aki basah itu sendiri jika sudah beberapa hari maka perlu diisikan pada jasa pengisian aki di tempat lain. Pengisian aki itu pun bisa memakan waktu satu sampai dua hari.

Kala itu saya masih ingat, sore hari, sekitar jam 18.00 aki untuk televisi di rumah saya telah habis. Padahal, acara sedang bagus-bagusnya, yakni acara lawak. Tidak ingin ketinggalan dengan acara itu, aki untuk sepeda motor pun dayagunakan. Caranya motor ditaruh di depan televisi, lalu kabel power disambungkan ke aki motor untuk tenaga listrik bagi televisi. Untuk memaksimalkan aki maka motor pun dinyalakan. Justru suara motor itulah yang lebih dominan daripada volume televisi.

Kemudian, rentang waktu empat tahun kemudian, yakni tahun 1994 sudah mulai bertambah orang yang punya televisi meskipun hitam putih. Namun, dalam satu dusun masih bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, sudah ada listrik dengan tenaga dinamo yang digerakan oleh diesel yang dimiliki oleh salah seorang warga.

Selanjutnya, menjelang tahun 2000 satu demi satu warga mulai memiliki televisi berwarna. Rumah-rumah warga pun sudah terpasang oleh listrik. Jadi, pemilik televisi sudah beralih dari aki kering untuk tenaga listrik bagi televisi. Tentu saja pada tahun itu, pajak untuk televisi sudah ditiadakan. Pada saat yang sama, stasiun-stasiun televisi swasta pun bermunculan, baik nasional maupun lokal.

Kini, tahun 2010 hampir setiap rumah di kampung halaman saya ini memiliki televisi. Bukan televisi hitam putih sebab televisi jenis ini sudah tidak begitu populer dan agaknya tidak ada orang yang memfungsikannya. Televisi yang warga miliki adalah televisi warna dengan antena tiang yang umumnya letaknya di luar rumah, menjulang ke atas melebihi tinggi atap rumah. Televisi sudah tidak menjadi barang mewah lagi.

Kendatipun demikian, jarang warga yang memasang televisi kabel maupun televisi dengan antena parabola. Sampai kini, hanya satu orang saja yang memasang televisi dengan antena parabola. Itu pun dimiliki oleh orang yang cukup berada di dusun ini. Alasan biaya masih menjadi kendala sehingga televisi dengan antena parabola masih belum banyak yang memakainya.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menonton televisi juga merupakan sebuah aktifitas. Kemudian, hampir dapat dipastikan bahwa pemilik televisi di kampung halaman saya ini setiap hari menyalakan televisi. Secara umum dua hal yang ingin didapatkan dari aktifitas menonton televisi tersebut, yakni berita dan hiburan. Dalam pengertian ini, televisi bukan sebagai benda mati, melainkan sebagai “benda hidup” atau alat yang mampu menyuguhkan pencitraan gerak, suara, dan gambar lewat layar kaca.

Sementara itu, sampai kini, televisi masih memiliki konsumen terbanyak dibandingkan dengan media lain seperti radio maupun media cetak seperti koran. Kebanyakan orang masih lebih menyukai duduk di depan televisi dan menonton tayangannya daripada membaca koran. Dan, televisi pun masih akan disukai oleh pemirsanya.



Pindah Salat Jumat

Pindah Salat Jumat

Hari itu, Jumat, 15 Januari 2010 merupakan hari yang bersejarah bagi warga Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Sejak hari itu sebagian warga pindah salat jumat. Artinya, mereka jumatan di masjid yang baru, di lokasi yang baru. Sementara itu, langgar yang lama tidak lagi dipakai jumatan. Padahal, langgar itu telah lebih dari dua dekade dipakai untuk jumatan. Jarak antara langgar dan masjid yang baru itu pun sekitar 200 meter. Ke arah utara dari langgar yang lama.

Dalam kaitan ini, saya sendiri tidak tahu persis kapan langgar itu mulai dibangun. Saya sendiri lahir pada akhir tahun 1984. Begitu saya kecil, saya sudah melihat langgar itu. Namun, menurut cerita, awalnya langgar itu terletak di timur langgar yang kini tidak lagi dipakai jumatan tersebut. Jaraknya sekitar 200 meter. Mungkin karena di lokasi tersebut tidak ada imam yang mengimami salat lima waktu maka kemudian langgar dipindah ke lokasi tersebut. Di lokasi itulah langgar bersebelahan dengan rumah seorang bernama Mbah Imam yang secara istiqomah mengimami sholat lima waktu.

Umumnya, tempat ibadah bernama langgar tidak dipakai untuk jumatan. Agaknya ukuran bangunan langgar yang kecil menjadi alasan mengapa langgar tidak dipakai untuk jumatan. Maka dari itu, langgar dianggap tidak memadai untuk menampung jemaah sholat jumat yang cenderung banyak.

Namun, tidak untuk langgar di dusun tersebut. Langgar tersebut masih dapat menampung jemaah sholat jumat selama lebih dari tiga dekade. Memang, kira-kira tahun 1998 langgar itu sempat diperluas, yakni separuh dari luas semula. Perluasan itu terkait pula dengan peningkatan jemaah salat jumat. Lahan di lokasi langgar itu sendiri sudah sempit. Di sisi selatan, timur dan barat bangunan langgar itu sudah berdiri rumah warga, sedangkan sisi utara sudah merupakan jalan umum maka perluasan langgar itu sulit untuk dilakukan.

Akhirnya dicarikanlah lokasi untuk membangun masjid. Sebuah lahan di pinggir dusun, di bawah pepohonan bambu di pinggir sawah akhirnya diputuskan menjadi lokasi masjid. Lokasi di pinggir dusun itu pun menandai bahwa lokasi masjid itu kurang strategis dari jalan utama dusun. Namun, itu tidak menjadi halangan dalam pembangunan masjid tersebut. Pembangunan masjid itu sendiri dimulai kira-kira tahun 2004.

Kemudian, pembangunan masjid itu sendiri berlangsung cukup lama, yakni kurang lebih lima tahun. Rentang waktu antara 2004 sampai dengan 2010. Pendanaan menjadi kendala utama kelangsungan pembangunan masjid. Tidak ada pendonor tunggal dalam pembangunan masjid itu. Mereka yang terlibat dalam pembangunan masjid itupun merasakan betapa besarnya perjuangan dalam menyelesaikan pembangunan masjid tersebut.

Begitu masjid itu dapat dipakai untuk salat jumat, malam sebelumnya diadakan syukuran secara sederhana. Tentu saja itu sebagai bentuk rasa syukur bahwa hari itu masjid itu bisa dipakai untuk jumatan. Memang, pembangunan masjid itu belum selesai secara total, tetapi sudah cukup memadai dipakai untuk jumatan. Tentu saja bangunan masjid yang bertiang empat itu lebih besar daripada langgar tadi. Hari itu pun setiap jemaah seakan-akan mendiami rumah baru, rumah Allah SWT.

Jumat, 15 Januari 2010

Dua Jam di Perpustakaan Proklamator Bung Karno

Dua Jam di Perpustakaan Proklamator Bung Karno

Jam 07.00 saya dan teman saya berangkat dari Nganjuk dengan sepeda motor menuju Blitar. Kami sengaja berangkat pagi agar tiba di Blitar tidak terlalu siang. Apalagi saat sore hari biasanya turun hujan. Di samping itu, kami sadar bahwa kami akan menempuh perjalanan selama hampir 2 jam. Maklum, Nganjuk-Blitar sekitar 70 km.

Dalam perjalanan itu, beruntung, kami mengendarai motor dengan isi silinder 160 cc. Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana pengalaman berkendara motor dengan silinder mesin tersebut dibandingkan berkendara dengan sepeda motor dengan isi silinder di bawah 160 cc.

Rabu, 6 Desember 2009 kala itu tujuan kami adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno (PPBK)-Kota Blitar. Saya pun belum pernah ke PPBK yang saat itu diresmikan oleh Presiden Megawati. Cerita seorang teman yang tinggal di Blitar, tidak jauh dari PPBK, pun memengaruhi saya untuk berkunjung ke PPBK. Teman saya itu adik kelas saya saat kuliah. Teman saya itu pula yang nantinya menjadi pemandu kami ke PPBK.

Kemudian, hampir jam 09.00 kami telah tiba di Blitar. Waktu itu teman saya itu menjemput kami, setelah terlebih dahulu saya menelponnya. Kami pun singgah di rumahnya. Dia pun menjamu kami di warung makan milik orang tuanya. Saat waktu menunjukkan hampir jam 10.00 kami pun bergegas ke PPBK.

Setelah kurang dari 10 menit, kami pun tiba di PPBK. Prasasti bertuliskan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno-Kota Blitar pun seakan-akan memberikan sambutan. Kemudian, dari sisi jalan bangunan PPBK itu tampak megah dengan arsitektur modern.

Saat akan memasuki area parkir, seorang satuan pengamanan (satpam) memberikan nomor parkir pada kami. Satu hal yang membuat saya agak heran, yakni di gerbang menuju area parkir itu ada sekitar tujuh orang satpam yang sedang bertugas. Bagi saya itu cukup unik untuk keamanan sebuah perpustakaan. Meskipun demikian, jika melihat standar sebuah perpustakaan nasional maka jumlah satpam itu wajar.

Kami pun segera menuju ruang tempat koleksi PPBK. Sebelumnya, kami meletakkan barang kami, tas dan jaket ke tempat penitipan yang telah disediakan. Tentu saja aturan itu umum di setiap perpustakaan, yakni barang seperti tas tidak boleh dibawa masuk ke ruang koleksi perpustakaan. Setelah itu, atas panduan teman saya itu, kami menuju lantai 1 dari 2 lantai bangunan PPBK. Persis di sisi pintu utama ini terdapat patung berukuran besar, yakni Soekarno yang tengah duduk.

Begitu kami masuk, setelah melewati pintu kaca, udara sejuk pun langsung terasa. Ruangan itu ber-pendingin udara. Di lantai 1 ini terdapat koleksi beberapa surat kabar dan sejumlah majalah. Kami tidak lama di lantai 1 ini. Setelah itu, kami menuju tangga yang menghubungkan ke lantai 2, tempat koleksi buku-buku. Waktu itu kami sempat menghubungi salah seorang petugas yang membantu kami mencari buku di rak yang terbuat dari besi. Kebetulan hari itu, sebagian buku masih akan ditata kembali di rak.

Sejak awal, saya sendiri hanya penasaran dengan keberadaan PPBK tersebut, khususnya bagaimana koleksinya. Saya juga sadar bahwa saya yang tidak berdomisili di Blitar tidak akan bisa meminjam koleksi milik PPBK. Maka dari itu, saya pun hanya berusaha melihat koleksi PPBK, khususnya buku-bukunya. Oleh karena itu, saya mengamatinya buku-bukunya dari rak satu ke rak lainnya. Selanjutnya, beberapa buku yang saya lihat, tampak di halaman depannya tertulis sumbangan dari sebuah yayasan di Jakarta.

Di sana juga ada catalog on line untuk mencari koleksi. Sebagaimana diketahui bahwa catalog tersebut memudahkan pencarian sebuah buku. Saya pun mencoba mengetikkan judul “Tesaurus Bahasa Indonesia”. Ternyata tidak ada. Teman saya pun mengatakan bahwa tidak setiap karya Pramoedya ada di catalog tersebut.

Di ruangan tersebut, saya pun merasa tidak sempat membaca di meja baca yang berkursi merah itu. Saya hanya membacanya di rak tempat saya mengambil buku dan membacanya dengan posisi badan berdiri. Saya berpikir bahwa dengan waktu yang terbatas itu, masih banyak rak-rak lain yang belum saya lihat buku-bukunya. Namun, akhirnya saat saya menulis catatan ini, saya agak menyesal mengapa saat itu saya tidak duduk sejenak di meja baca sambil membaca buku.

Setelah judul-judul buku di rak ruangan tersebut saya amati, kami bertiga pun berpindah menuju ruangan lainnya. Kami pun lewat sebuah koridor di sisi-atas patung Soekarno, sebagai penghubung dua ruangan tersebut. Saat berada di koridor, suhu pun kembali panas. Maklum, suhu udara di koridor ini tidak berpendingin udara sebagaimana di ruangan tadi. Suhu udara di koridor ini sudah menyatu dengan suhu luar ruangan.

Akan tetapi, begitu masuk ruangan maka suhu udara yang sejuk pun kembali terasa. Bahkan, di ruangan ini suhu udaranya terasa lebih dingin daripada suhu ruangan sebelumnya. Saya pun menghampiri rak yang berisikan buku-buku jenis sastra. Di rak itu saya berharap menemukan buku kepenulisan, khususnya nonfiksi. Namun, saya tidak menemukannya.

Ruangan ini agaknya berisi rak untuk buku-buku jenis sastra, teknologi, dan kesehatan. Di samping itu, buku-buku yang tergolong lama juga ditempat di rak di ruangan ini. Sementara itu, ruangan yang kami tinggalkan tadi raknya untuk buku-buku jenis filsafat, agama, ilmu sosial, ekonomi, dan politik. Ruangan ini pun lebih tenang dibandingkan dengan ruangan sebelumnya. Di ruangan sebelumnya ada suara mesin pendingin yang bersuara mendengung.

Dua ruangan di lantai dua ini, selain dihubungkan oleh koridor tadi, sebetulnya dihubungkan oleh dinding kaca. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian bangunan PPBK, terutama dindingnya terbuat dari kaca. Memang, dinding ini sebagai pembatas, tetapi dinding kaca yang tembus pandang ini memungkinkan dapat melayangkan pandangan dari balik dinding kaca ini. Maka dari itu, pandangan mata pun menjadi lebih luas.

Kemudian, saat waktu menunjukkan sekitar jam 12.00 kami pun meninggalkan ruangan tersebut. Jadi, kurang lebih selama dua jam itu kami bertiga melihat-lihat koleksi pustaka milik PPBK. Setelah itu, kami bertiga berencana ke makam proklamator Bung Karno di sebelah barat, berdekatan dengan PPBK. Bagi saya, kunjungan ini merupakan kali kedua. Pertama kali saya ke makam Bung Karno ini adalah saat saya masih Sekolah Dasar (SD), yakni kira-kira tahun 1995.

Saat kami ke makam Bung Karno, terlihat sejumlah orang berziarah dan berdoa di depan makam. Posisi makam Bung Karno sendiri berada di tengah-tengah, sedangkan di kanan dan kirinya merupakan makam orang tua, ayah dan ibu Bung Karno. Hal yang menarik lagi di makam tersebut adalah ukiran kayu pada atap makam.

Perjalanan pun dilanjutkan ke sebelah makam, yakni pasar tempat penjualan sovenir. Misalnya, baju kaus dengan gambar Bung Karno, kemeja batik, hiasan dari kayu, dan lain sebagainya. Saya berpikir bahwa pasar itu tidaklah terlalu luas, tetapi ternyata saya salah. Pasar itu terbilang luas dan cukup untuk melelahkan kaki.

Kami pun kembali ke PPBK dan akan mengambil tas di tempat penitipan. Namun, sebelum itu, kami masuk ke museum Bung Karno. Di dalamnya terdapat beberapa barang. Misalnya jas milik Bung Karno dan puluhan foto Bung Karno. Sama seperti di ruangan PPBK, di museum ini juga dilarang memotret atau mengambil gambar.

Sementara itu, langit pun terlihat gumpalan mendung pertanda akan turun hujan dan kami pun pulang.

Klik di sini untuk ke website Perpustakaan Proklamator Bung Karno.





Senin, 04 Januari 2010

Satu Lagi tentang Filsafat Ilmu

Satu Lagi tentang Filsafat Ilmu

Judul Buku : Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis

tentang Motode Ilmiah dan Problem Modernitas

Penulis : F. Budi Hardiman

Penerbit : Kanisius, Yogyakarta

Tahun Terbit : 2007, Cet 4.

Tebal : 202 halaman

Positivisme dan modernitas menjadi isu utama dalam pembahasan buku ini. Positivisme di sini sebagai metode ilmiah, sementara ada problem menyangkut modernitas. Dua hal itu ingin diungkap dalam buku ini melalui suatu diskursus atau secara tersurat ingin mengkritik positivisme dan modernitas. Di samping itu, seolah-olah positivisme di sini berjalan beriringan dengan modernitas. Oleh karena itu, positivisme pun dianggap memengaruhi modernitas dengan segala problemnya.

Itu adalah kesan pertama yang disuguhkan buku karya Fransisco Budi Hardiman ini di halaman sampul belakang. Mereka yang akrab dengan filsafat tentu mengenal sosok yang satu ini. Karya-karyanya tentang filsafat banyak bertebaran, seperti dalam bentuk buku, artikel di koran maupun di majalah. F. Budi Hardiman pula yang dikenal banyak mengenalkan pemikiran-pemikiran filsafat seperti pemikiran Habermas pada masyarakat pembaca di Indonesia.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita artikan “positivisme” dan “modernitas”. Secara sederhana, positivisme dapat dimaknai “jika suatu realitas begini maka realitas itu akan begitu. Sebaliknya, “jika realitas begitu maka realitas itu akan begini”. Dengan demikian, polanya lebih pada hubungan sebab akibat. Sementara itu, modernitas secara sederhana barangkali bisa diartikan sebagai “sesuatu yang sekarang dan masa depan”.

Kemudian, secara umum buku ini tergolong buku filsafat ilmu. Itu ditandai dengan kupasan tentang ilmu alam dan ilmu sosial-kemanusiaan. Itu dapat dilihat dari tabel perbedaan penelitian antara ilmu alam dengan ilmu sosial (hlm. 27). Kemudian, dua ilmu pengetahuan tersebut dikaitkan dengan wacana kekinian seperti halnya hermeneutik, selain positivisme dan modernitas.

Secara pribadi, banyak wawasan baru yang saya peroleh dari membaca buku ini. Pengakuan ini semata-mata saya pernah belajar sosiologi dan membaca beberapa buku tentang filsafat ilmu. Sementara itu, salah satu sifat filsafat adalah kecenderungan melihat sesuatu secara menyeluruh. Dalam kaitan ini, saya menyadari bahwa mempelajari filsafat ilmu dapat mengenali posisi suatu cabang ilmu, seperti sosiologi, di antara cabang-cabang ilmu yang lain. Bahkan, dalam tertentu memantapkan saya akan pembelajaran sosiologi dalam kategori sebagai ilmu sosial.

Tidak terkecuali membaca buku, buku ini saya baca dengan teknik mencari. Saya rasa sungguh membuang waktu dan tenaga jika membaca buku ini secara keseluruhan, mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Teknik itu pula yang memungkinkan saya untuk membandingkan pengertian saya tentang filsafat ilmu dengan uraian-uraian di dalam buku ini.

Kembali pada ulasan isi buku ini. Buku yang terdiri dari tiga bagian ini masih dipilah menjadi 12 bab. Kemudian, setiap babnya terdiri atas rata-rata 5 subbahasan. Kemudian, kata “mempersoalkan realitas” menjadi titik tekan dari filsafat (hlm). Untuk mempermudah pengertian tentang realitas maka “realitas” menurut Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006) ber-sinonim dengan aktualitas, fakta, kenyataan, kebenaran, validitas. Sementara itu, pengertian realitas dalam alam pikir filsafat sendiri bisa sangat rumit.

Kemudian, bab 2 di buku ini mulai membahas tentang penelitian oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu alam dan ilmu sosial. Lebih khusus lagi kedua ilmu tersebut mengarah pada ilmu murni seperti fisika, kimia, biologi, sosiologi, psikologi, dan antropologi. Dalam bab 2 ini pula, di tengah-tengah kesenjangan antara ilmu sosial dan ilmu alam, ada upaya untuk menyejajarkan dua ilmu tersebut.

Bahkan, kesan bahwa pengembangan ilmu sosial yang mengadaptasi ilmu alam pun coba ditepis dalam bab 2 ini. Misalnya, disebutkan bahwa orientasi dari ilmu alam adalah “sukses”, sedangkan ilmu sosial adalah “pemahaman timbal balik” (hlm. 26). Dalam kaitan ini, agaknya hanya filsafat semata yang memiliki perhatian akan hal itu. Apabila ditelusuri ilmu alam lebih mengarah pada positivisme dan ini bukan berarti ilmu sosial harus mengikutinya.

Dalam dunia penelitian sendiri dikenal ada empat paradigma, yakni positivisme, postpositivisme, constructivisme, dan critical theory (Hidayat seperti dikutip oleh Salim, 2001:42). Pengembangan empat paradigma itu pun agaknya bertalian dengan positivisme dalam pandangan filsafat, dalam buku ini. Dalam paradigma tersebut, ilmu sosial bekerja seperti ilmu alam. Dapat juga dicatat di sini bahwa riuh rendah pemakaian metode kualitatif dalam ilmu sosial juga merupakan usaha keluar dari lingkaran positivisme.

Dalam kaitan ini pula, bukan berarti positivisme lalu tidak berguna dan serta merta ditinggalkan. Boleh jadi positivisme sesuai untuk ilmu alam, tetapi belum tentu selamanya sesuai untuk ilmu sosial. Di samping itu, dalam diskursif seperti filsafat dan ilmiah pun tidak ada kata berhenti untuk mencari sesuatu yang baru.

Kemudian, bab 3 mengulas tentang hermeneutik, suatu istilah yang relatif baru memasuki milenium ketiga. Hermeneutik sendiri punya arti yang luas. Barangkali “menafsirkan” merupakan kata sederhana untuk mengerti tentang hermenutik. Sepintas, hermeneutik ini dimunculkan secara tiba-tiba dan tanpa ada benang merah dengan positivisme. Akan tetapi, di bab 4 ternyata hermeneutik ini diasumsikan menjadi alternatif untuk problem positivisme.

Selanjutnya, masuk pada bab 2 yang mengupas tentang modernitas. Perlu diketahui kembali bahwa buku ini merupakan kumpulan tulisan oleh penulisnya. Oleh karena itu, sebagian alur tulisan pun tampak meloncat-loncat dari satu ide ke ide yang lain. Apalagi membicarakan tentang modernitas maka kiranya akan sulit menemukan satu pola dalam bab 2 ini.

Awalnya modernitas dimimpikan sebagai sebagai hal yang baik. Akan tetapi, modernitas ini dikenali berasal dari barat. Orang pun akan berpikir bahwa barat itu identik dengan Eropa dan Amerika. Sementara itu, apa-apa yang dari barat itu ada sisi baiknya, tetapi juga ada sisi buruknya. Pandangan hidup yang baru, pemakaian perkakas dengan mesin, sistem kerja yang baru bagi manusia adalah beberapa indikasi akan modernitas itu. Akhirnya, modernitas pun bisa masuk pada hampir semua dimensi, entah sosial, politik, ekonomi, agama, lebih-lebih pada teknologi dan informasi.

Dalam subbab Corak Kesadaran Modern dikatakan bahwa dalam proses modern, manusia modern dinilai sebagai “’makhluk’ yang tersentak” pada alam (hlm. 73). Hal itu pun memengaruhi cara manusia berpikir terhadap dunia yang mereka rasakan dengan indera. Alam modernitas ini pun juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat menjelang milenium ketiga.

Dalam bab 2 ini, modernitas pun dilacak sampai pada akarnya. Pertama-tama, akar yang dimaksud adalah kesadaran manusia. Kesadaran manusia ini dikaitkan dengan momen eksternalisasi, momen objektivikasi dan momen internalisasi. Momen-momen tersebut sepertinya mirip pemikiran Berger dan Luckmann (1966).

Tidak hanya berhenti sampai pada momen-momen tersebut. Namun, modernitas ini juga dilacak sampai pada tradisi, peran kaum intelektual sebagai kelompok strategis dalam roda modernitas, serta gerakan kiri baru yang dikenal sebagai kelompok strategis yang progresif. Sekali lagi bahwa semua itu tak lepas dari kritik dan lebih ditonjolkan pada situasi dan kondisi negara dan bangsa Indonesia.

Akhirnya, posmodernisme pun turut berperan sebagai kritik. Meskipun demikian, posmodernisme sekaligus juga layak mendapatkan kritikan. Kritik terhadap posmodernisme, misalnya posmodernisme bisa melakukan pembongkaran-pembongkaran, tetapi masih kesulitan bagaimana cara memperbaiki. Dalam kaitan ini, posmodernisme sendiri sering mengatakan sebagai upaya memandang “sesuatu” setelah masa modernitas. Namun, batas antara modernitas dan setelah modernitas sendiri amatlah tidak jelas.

Bab 12 pun mengakhiri buku ini. Dalam subbabnya diulas kembali tentang polemik modernitas/postmodernisme. Apabila dibandingkan dengan bab 2 yang juga membahas tentang modernitas maka di subbab di bab 12 ini lebih mudah dipahami apa itu modernitas.

Memang, positivisme dan modernitas di sini dilihat dengan kacamata filsafat. Sesuai sifatnya, banyak gagasan dalam buku ini yang mungkin akan sulit dimengerti, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa dengan bahasa filsafat, khususnya filsafat ilmu. Maka dari itu, buku ini agaknya hanya untuk kalangan terbatas saja, seperti akademisi.

Selamat Jalan Gus...

Selamat Jalan Gus...

Rabu, 30 Desember 2009, kira hampir masuk waktu isya, saat saya berada di depan monitor, sebuah stasiun televisi memberitakan tentang wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Hari-hari sebelumnya, khususnya oleh tayangan televisi, Gus Dur diberitakan menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Akhirnya, hari itu Gus Dur pun tak sanggup melawan komplikasi penyakitnya dan berpulang ke rahmatullah.

Kemudian, keesokannya, media, khususnya televisi, seakan-akan tidak henti-hentinya memperbarui berita tentang meninggalnya mantan presiden Republik Indonesia (RI) yang ke-4 itu. Mulai dari rumah sakit tempat Gus Dur menghembuskan napas terakhir sampai di pemakaman di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Maklum, sebagai mantan presiden RI sekaligus sebagai tokoh nasional, guru bangsa, seorang kiai, budayawan dan sederet julukan bagi beliau maka jika banyak pelayat yang datang ke pemakaman maka itu tidak mengherankan.

Kamis pagi, 31 Desember 2009 saya pun berusaha mengikuti jalannya pemakaman Gus Dur lewat televisi. Saya tidak ingin melewatkan momentum tersebut. Tayangan tentang profil Gus Dur pun semakin menarik bagi saya. Waktu itu ada sebuah rekaman tayangan tentang Gus Dur saat diwawancari oleh sebuah stasiun televisi.

Siangnya, saya membaca sebuah koran nasional di perpustakaan daerah di kabupaten. Awalnya saya tidak menemukan koran hari itu. Selang beberapa lama kemudian ada seseorang yang menyodorkan koran terbaru. Berita tentang almarhum Gus Dur pun menjadi headline. Sejumlah artikel tentang sosok yang kharismatik itu pun saya baca.

Secara personal saya memang tidak pernah bertemu dengan Gus Dur secara langsung. Entah pada usia berapa saya mengenal sosok Gus Dur. Namun, kira-kira tahun 1998 Gus Dur datang ke Nganjuk. Persisnya di Desa Sekarputih, Kecamatan Bagor. Waktu itu Gus Dur berkunjung ke sebuah pondok pesantren. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Saya pun tidak menyangka bahwa akan ada banyak orang yang datang pada acara tersebut. Bahkan, keberadaan anggota dari perguruan silat sebagai security pun sempat membuat saya bergidik.

Entah apa yang mendorong saya untuk hadir pada acara itu. Yang jelas kala itu saya penasaran dengan sosok Gus Dur. Di lingkungan kampung halaman saya pun yang notabene pedesaan merupakan basis Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana diketahui bahwa NU merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Dengan sendirinya, sosok Gus Dur cukup populer di kalangan masyarakat.

Kemudian, sosok Gus Dur semakin populer saat beliau menjadi presiden RI yang ke-4. Memang, dalam perjalanannya sebagai presiden, beliau dikenal sebagai sosok yang cukup kontroversial terkait dengan pandangan-pandangannya. Akhirnya, Gus Dur pun menjabat presiden tidak sampai genap lima tahun.

Akhirnya, di penghujung tahun 2009, Gus Dur telah berpulang. Selamat Jalan Gus...