Saya masih ingat. Kira awal tahun 1990-an, di dusun saya, jika ingin melihat siaran televisi maka perlu pergi ke rumah seorang tetangga. Saya sendiri waktu mengalaminya dan saat itu kira-kira saya baru berumur tujuh tahun. Maklum, saat itu satu dusun hanya satu orang saja yang memiliki televisi. Itu pun televisi hitam putih ukuran 14 inch. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu acara favorit adalah ludruk yang ditayangkan pada siang hari. Dengan keadaan seperti itu maka bisa dibayangkan, kegiatan menonton televisi itu seperti suasana gedung bioskop.
Namun, aktifitas menonton televisi itu tidak bisa dilakukan setiap hari. Itu bergantung pada pemilik televisi, apakah saat itu menyalakan televisi ataukah tidak. Maka dari itu, meskipun menonton televisi itu tidak gratis, tetapi hanya pada jam-jam tertentu dan hari tertentu saja orang-orang dapat menyaksikan televisi di rumah orang yang memiliki televisi.
Waktu itu, televisi memang masih menjadi barang mewah. Hampir dapat dipastikan bahwa orang yang memiliki televisi adalah orang yang cukup berada. Saat itu pun televisi masih dikenai pajak yang dihitung pada setiap bulannya. Kemewahan itu pun berkaitan dengan stasiun televisi saat itu, yakni hanya stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Aliran listrik pun pada tahun tersebut belum masuk ke dusun saya. Sementara itu, untuk menyalakan televisi maka digunakanlah aki basah. Aki basah itu sendiri jika sudah beberapa hari maka perlu diisikan pada jasa pengisian aki di tempat lain. Pengisian aki itu pun bisa memakan waktu satu sampai dua hari.
Kala itu saya masih ingat, sore hari, sekitar jam 18.00 aki untuk televisi di rumah saya telah habis. Padahal, acara sedang bagus-bagusnya, yakni acara lawak. Tidak ingin ketinggalan dengan acara itu, aki untuk sepeda motor pun dayagunakan. Caranya motor ditaruh di depan televisi, lalu kabel power disambungkan ke aki motor untuk tenaga listrik bagi televisi. Untuk memaksimalkan aki maka motor pun dinyalakan. Justru suara motor itulah yang lebih dominan daripada volume televisi.
Kemudian, rentang waktu empat tahun kemudian, yakni tahun 1994 sudah mulai bertambah orang yang punya televisi meskipun hitam putih. Namun, dalam satu dusun masih bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, sudah ada listrik dengan tenaga dinamo yang digerakan oleh diesel yang dimiliki oleh salah seorang warga.
Selanjutnya, menjelang tahun 2000 satu demi satu warga mulai memiliki televisi berwarna. Rumah-rumah warga pun sudah terpasang oleh listrik. Jadi, pemilik televisi sudah beralih dari aki kering untuk tenaga listrik bagi televisi. Tentu saja pada tahun itu, pajak untuk televisi sudah ditiadakan. Pada saat yang sama, stasiun-stasiun televisi swasta pun bermunculan, baik nasional maupun lokal.
Kini, tahun 2010 hampir setiap rumah di kampung halaman saya ini memiliki televisi. Bukan televisi hitam putih sebab televisi jenis ini sudah tidak begitu populer dan agaknya tidak ada orang yang memfungsikannya. Televisi yang warga miliki adalah televisi warna dengan antena tiang yang umumnya letaknya di luar rumah, menjulang ke atas melebihi tinggi atap rumah. Televisi sudah tidak menjadi barang mewah lagi.
Kendatipun demikian, jarang warga yang memasang televisi kabel maupun televisi dengan antena parabola. Sampai kini, hanya satu orang saja yang memasang televisi dengan antena parabola. Itu pun dimiliki oleh orang yang cukup berada di dusun ini. Alasan biaya masih menjadi kendala sehingga televisi dengan antena parabola masih belum banyak yang memakainya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menonton televisi juga merupakan sebuah aktifitas. Kemudian, hampir dapat dipastikan bahwa pemilik televisi di kampung halaman saya ini setiap hari menyalakan televisi. Secara umum dua hal yang ingin didapatkan dari aktifitas menonton televisi tersebut, yakni berita dan hiburan. Dalam pengertian ini, televisi bukan sebagai benda mati, melainkan sebagai “benda hidup” atau alat yang mampu menyuguhkan pencitraan gerak, suara, dan gambar lewat layar kaca.
Sementara itu, sampai kini, televisi masih memiliki konsumen terbanyak dibandingkan dengan media lain seperti radio maupun media cetak seperti koran. Kebanyakan orang masih lebih menyukai duduk di depan televisi dan menonton tayangannya daripada membaca koran. Dan, televisi pun masih akan disukai oleh pemirsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar