Satu Lagi tentang Filsafat Ilmu
Judul Buku : Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Motode Ilmiah dan Problem Modernitas
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2007, Cet 4.
Tebal : 202 halaman
Positivisme dan modernitas menjadi isu utama dalam pembahasan buku ini. Positivisme di sini sebagai metode ilmiah, sementara ada problem menyangkut modernitas. Dua hal itu ingin diungkap dalam buku ini melalui suatu diskursus atau secara tersurat ingin mengkritik positivisme dan modernitas. Di samping itu, seolah-olah positivisme di sini berjalan beriringan dengan modernitas. Oleh karena itu, positivisme pun dianggap memengaruhi modernitas dengan segala problemnya.
Itu adalah kesan pertama yang disuguhkan buku karya Fransisco Budi Hardiman ini di halaman sampul belakang. Mereka yang akrab dengan filsafat tentu mengenal sosok yang satu ini. Karya-karyanya tentang filsafat banyak bertebaran, seperti dalam bentuk buku, artikel di koran maupun di majalah. F. Budi Hardiman pula yang dikenal banyak mengenalkan pemikiran-pemikiran filsafat seperti pemikiran Habermas pada masyarakat pembaca di Indonesia.
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita artikan “positivisme” dan “modernitas”. Secara sederhana, positivisme dapat dimaknai “jika suatu realitas begini maka realitas itu akan begitu. Sebaliknya, “jika realitas begitu maka realitas itu akan begini”. Dengan demikian, polanya lebih pada hubungan sebab akibat. Sementara itu, modernitas secara sederhana barangkali bisa diartikan sebagai “sesuatu yang sekarang dan masa depan”.
Kemudian, secara umum buku ini tergolong buku filsafat ilmu. Itu ditandai dengan kupasan tentang ilmu alam dan ilmu sosial-kemanusiaan. Itu dapat dilihat dari tabel perbedaan penelitian antara ilmu alam dengan ilmu sosial (hlm. 27). Kemudian, dua ilmu pengetahuan tersebut dikaitkan dengan wacana kekinian seperti halnya hermeneutik, selain positivisme dan modernitas.
Secara pribadi, banyak wawasan baru yang saya peroleh dari membaca buku ini. Pengakuan ini semata-mata saya pernah belajar sosiologi dan membaca beberapa buku tentang filsafat ilmu. Sementara itu, salah satu sifat filsafat adalah kecenderungan melihat sesuatu secara menyeluruh. Dalam kaitan ini, saya menyadari bahwa mempelajari filsafat ilmu dapat mengenali posisi suatu cabang ilmu, seperti sosiologi, di antara cabang-cabang ilmu yang lain. Bahkan, dalam tertentu memantapkan saya akan pembelajaran sosiologi dalam kategori sebagai ilmu sosial.
Tidak terkecuali membaca buku, buku ini saya baca dengan teknik mencari. Saya rasa sungguh membuang waktu dan tenaga jika membaca buku ini secara keseluruhan, mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Teknik itu pula yang memungkinkan saya untuk membandingkan pengertian saya tentang filsafat ilmu dengan uraian-uraian di dalam buku ini.
Kembali pada ulasan isi buku ini. Buku yang terdiri dari tiga bagian ini masih dipilah menjadi 12 bab. Kemudian, setiap babnya terdiri atas rata-rata 5 subbahasan. Kemudian, kata “mempersoalkan realitas” menjadi titik tekan dari filsafat (hlm). Untuk mempermudah pengertian tentang realitas maka “realitas” menurut Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006) ber-sinonim dengan aktualitas, fakta, kenyataan, kebenaran, validitas. Sementara itu, pengertian realitas dalam alam pikir filsafat sendiri bisa sangat rumit.
Kemudian, bab 2 di buku ini mulai membahas tentang penelitian oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu alam dan ilmu sosial. Lebih khusus lagi kedua ilmu tersebut mengarah pada ilmu murni seperti fisika, kimia, biologi, sosiologi, psikologi, dan antropologi. Dalam bab 2 ini pula, di tengah-tengah kesenjangan antara ilmu sosial dan ilmu alam, ada upaya untuk menyejajarkan dua ilmu tersebut.
Bahkan, kesan bahwa pengembangan ilmu sosial yang mengadaptasi ilmu alam pun coba ditepis dalam bab 2 ini. Misalnya, disebutkan bahwa orientasi dari ilmu alam adalah “sukses”, sedangkan ilmu sosial adalah “pemahaman timbal balik” (hlm. 26). Dalam kaitan ini, agaknya hanya filsafat semata yang memiliki perhatian akan hal itu. Apabila ditelusuri ilmu alam lebih mengarah pada positivisme dan ini bukan berarti ilmu sosial harus mengikutinya.
Dalam dunia penelitian sendiri dikenal ada empat paradigma, yakni positivisme, postpositivisme, constructivisme, dan critical theory (Hidayat seperti dikutip oleh Salim, 2001:42). Pengembangan empat paradigma itu pun agaknya bertalian dengan positivisme dalam pandangan filsafat, dalam buku ini. Dalam paradigma tersebut, ilmu sosial bekerja seperti ilmu alam. Dapat juga dicatat di sini bahwa riuh rendah pemakaian metode kualitatif dalam ilmu sosial juga merupakan usaha keluar dari lingkaran positivisme.
Dalam kaitan ini pula, bukan berarti positivisme lalu tidak berguna dan serta merta ditinggalkan. Boleh jadi positivisme sesuai untuk ilmu alam, tetapi belum tentu selamanya sesuai untuk ilmu sosial. Di samping itu, dalam diskursif seperti filsafat dan ilmiah pun tidak ada kata berhenti untuk mencari sesuatu yang baru.
Kemudian, bab 3 mengulas tentang hermeneutik, suatu istilah yang relatif baru memasuki milenium ketiga. Hermeneutik sendiri punya arti yang luas. Barangkali “menafsirkan” merupakan kata sederhana untuk mengerti tentang hermenutik. Sepintas, hermeneutik ini dimunculkan secara tiba-tiba dan tanpa ada benang merah dengan positivisme. Akan tetapi, di bab 4 ternyata hermeneutik ini diasumsikan menjadi alternatif untuk problem positivisme.
Selanjutnya, masuk pada bab 2 yang mengupas tentang modernitas. Perlu diketahui kembali bahwa buku ini merupakan kumpulan tulisan oleh penulisnya. Oleh karena itu, sebagian alur tulisan pun tampak meloncat-loncat dari satu ide ke ide yang lain. Apalagi membicarakan tentang modernitas maka kiranya akan sulit menemukan satu pola dalam bab 2 ini.
Awalnya modernitas dimimpikan sebagai sebagai hal yang baik. Akan tetapi, modernitas ini dikenali berasal dari barat. Orang pun akan berpikir bahwa barat itu identik dengan Eropa dan Amerika. Sementara itu, apa-apa yang dari barat itu ada sisi baiknya, tetapi juga ada sisi buruknya. Pandangan hidup yang baru, pemakaian perkakas dengan mesin, sistem kerja yang baru bagi manusia adalah beberapa indikasi akan modernitas itu. Akhirnya, modernitas pun bisa masuk pada hampir semua dimensi, entah sosial, politik, ekonomi, agama, lebih-lebih pada teknologi dan informasi.
Dalam subbab Corak Kesadaran Modern dikatakan bahwa dalam proses modern, manusia modern dinilai sebagai “’makhluk’ yang tersentak” pada alam (hlm. 73). Hal itu pun memengaruhi cara manusia berpikir terhadap dunia yang mereka rasakan dengan indera. Alam modernitas ini pun juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat menjelang milenium ketiga.
Dalam bab 2 ini, modernitas pun dilacak sampai pada akarnya. Pertama-tama, akar yang dimaksud adalah kesadaran manusia. Kesadaran manusia ini dikaitkan dengan momen eksternalisasi, momen objektivikasi dan momen internalisasi. Momen-momen tersebut sepertinya mirip pemikiran Berger dan Luckmann (1966).
Tidak hanya berhenti sampai pada momen-momen tersebut. Namun, modernitas ini juga dilacak sampai pada tradisi, peran kaum intelektual sebagai kelompok strategis dalam roda modernitas, serta gerakan kiri baru yang dikenal sebagai kelompok strategis yang progresif. Sekali lagi bahwa semua itu tak lepas dari kritik dan lebih ditonjolkan pada situasi dan kondisi negara dan bangsa Indonesia.
Akhirnya, posmodernisme pun turut berperan sebagai kritik. Meskipun demikian, posmodernisme sekaligus juga layak mendapatkan kritikan. Kritik terhadap posmodernisme, misalnya posmodernisme bisa melakukan pembongkaran-pembongkaran, tetapi masih kesulitan bagaimana cara memperbaiki. Dalam kaitan ini, posmodernisme sendiri sering mengatakan sebagai upaya memandang “sesuatu” setelah masa modernitas. Namun, batas antara modernitas dan setelah modernitas sendiri amatlah tidak jelas.
Bab 12 pun mengakhiri buku ini. Dalam subbabnya diulas kembali tentang polemik modernitas/postmodernisme. Apabila dibandingkan dengan bab 2 yang juga membahas tentang modernitas maka di subbab di bab 12 ini lebih mudah dipahami apa itu modernitas.
Memang, positivisme dan modernitas di sini dilihat dengan kacamata filsafat. Sesuai sifatnya, banyak gagasan dalam buku ini yang mungkin akan sulit dimengerti, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa dengan bahasa filsafat, khususnya filsafat ilmu. Maka dari itu, buku ini agaknya hanya untuk kalangan terbatas saja, seperti akademisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar