Indekos
Lewat judul itu saya ingin berbagi pengalaman saat saya indekos antara Juni 2003 sampai dengan Mei 2009. Selama enam tahun itu, saya pernah indekos. Indekos adalah keharusan sebab tidak mungkin jika kuliah di Jember, saya pulang pergi Nganjuk-Jember setiap hari. Pengalaman ini boleh jadi biasa-biasa saja. Mungkin juga terkesan saya mengungkit-ungkit masa lalu yang hendaknya tidak perlu dituliskan. Namun, saya ingin menuliskannya.
Dalam percakapan, kita biasanya memakai kata “kos”. Akan tetapi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB, 2002) tertulis “indekos”. Namun, sebuah surat kabar lebih memakai kata “kos-kosan”. Indekos merupakan bentuk menyewa tempat. Umumnya kamar tidur dalam jangka waktu tertentu. Biasanya jangka waktunya lama. Beberapa bulan atau beberapa tahun. Jadi berbeda dengan sewa kamar hotel. Kontrak juga seperti kos, tetapi biasanya yang dikontrak itu sebuah rumah.
Ada lagi asrama. Asrama biasanya milik sebuah lembaga. Umumnya milik kampus. Saat saya kuliah dulu juga ada sejumlah teman-teman yang mondok, yakni berada di sebuah pesantren. Juga dikenal dengan pesantren pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, sebagian kecil mahasiswa ikut saudaranya. Di antara semua sistem itu, sistem indekos ini pula yang terbanyak jumlahnya saat saya kuliah dulu.
Namun, saya ingin bercerita tentang indekos saja. Saat itu, Juni 2003 saya dicarikan indekos dengan sewa kamar Rp 100.000,- per bulan. Untuk bulan Juni itu pemilik indekos meminta uang muka jika ingin menempati indekos itu. Saat itu saya memberikan uang Rp 100.000,- untuk bulan Juni meskipun belum menempatinya. Jumlah itu sebetulnya terserah saya. Kegiatan untuk mahasiswa baru sendiri dimulai Juli 2003.
Uang muka itu oleh pemilik kos sebagai bukti saya sungguh-sungguh menempati indekos itu. Jika saya tidak memberi uang muka, pemilik kos bisa saja memberikan kamar pada orang lain yang mencari setelah saya. Selain itu, pemilik kos juga tidak mau rugi.
Saat saya menempati bulan Juli, beberapa hari setelah saya tempati, seingat saya pemilik kos meminta membayar untuk lima bulan ke depan. Sebelumnya pemilik kos tidak memberitahu cara pembayaran seperti itu. Pembayaran seperti ini sebetulnya merugikan saya. Jika dalam dua bulan ke depan misalkan saya tidak kerasan dan ingin pindah maka saya tidak bisa.
Akhirnya saya menuruti pemilik indekos. Juli 2003 itu, saya tinggal di tempat yang baru. Orang-orang yang baru, entah asal daerahnya, jurusan kuliahnya, dan lain sebagainya. Di antara mereka ada yang dari Trenggalek (Jawa Timur), Kudus (Jawa Tengah), Bangkalan (Madura), Surabaya, Malang (Jawa Timur), Tuban (Jawa Timur), Sleman (Jawa Tengah), Kalimantan dan lain sebagainya.
Layaknya anak kos, banyak suka duka yang dialami. Sukanya misalnya jika ada salah seorang teman kos yang merayakan ulang tahunnya dengan acara traktiran. Dukanya, misalnya harus antre saat mandi. Terkadang saat sore, air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak mengalir dengan deras. Baru mengalir menjelang maghrib.
Konflik dan masalah bisa muncul di mana saja dan kapan saja. Tak terkecuali dalam lingkungan indekos. Misalnya, konflik sesama anak kos menyangkut sifat setiap anak kos. Bisa juga konflik antara anak kos dan pemilik kos, misalnya menyangkut tanggal pembayaran sewa kos. Kiranya konflik itu menjadi hal biasa yang terjadi dalam lingkungan indekos.
Tempat kos juga menyangkut kecocokan atau kepuasan anak kos. Pertengahan 2004 saya pindah untuk pertama kalinya dari indekos. Alasannya, antara lain, di indekos yang lama tidak boleh membawa komputer. Air PDAM yang saat sore terkadang hanya mengalir kecil juga menjadi salah satu alasan kepindahan saya.
Di indekos yang baru, saya sempat pindah kamar sebanyak tiga kali. Alasannya, kepindahan saya itu bertepatan dengan renovasi indekos. Di indekos yang baru ini saya tidak harus membayar sewa kamar untuk lima bulan ke depan. Cukup membayar satu bulan pertama. Seingat saya saat itu satu bulan Rp 100.000,- per bulan untuk yang membawa komputer. Umumnya, setiap pemilik indekos punya aturan sendiri terkait dengan tempat indekos.
Di indekos yang baru ini saya memang lebih leluasa sebagai anak kos. Misalnya, dibolehkan membawa komputer. Namun, kira-kira pada awal 2007 saya pindah lagi. Alasan utamanya, daya listrik yang 900 watt di indekos ini tidak kuat untuk penghuni 20 orang sehingga sering padam. Apalagi saat itu ada tiga komputer.
Baik kepindahan pertama maupun kepindahan kedua ini sama-sama berat. Artinya, terkadang berat meninggalkan teman-teman kos yang sudah lama berteman. Di samping itu, kepindahan kos ini juga harus memindah barang-barang. Misalnya, satu unit komputer, puluhan buku, pakaian, kertas, dan lain sebagainya. Kepindahan yang kedua ini saya delapan kali bolak-balik naik motor untuk mengangkut barang.
Saya pindah ke indekos yang baru yang berpenghuni tiga orang, termasuk saya. Jaraknya sekitar 2 km dari indekos yang lama. Dua orang itu sudah bekerja. Syukurlah di indekos yang kali ketiga saya pindah ini saya dapat leluasa memakai komputer. Tanpa sering terjadi pemadaman. Di indekos ini pun saya juga cukup membayar bulan pertama saat saya baru menempati.
Suasana kos yang hening, jendela di sisi utara kamar yang menghadap pekarangan, dan ibu kos yang baik membuat saya betah tinggal di indekos itu, sampai saya lulus kuliah dan tidak kos lagi. Air PDAM pun mengalir dengan lancar. Mandi pun tidak perlu antre lagi. Meskipun demikian, kakus yang hanya terbuat dari semen kurang menyenangkan.
wih jadi inget masa lalu waktu ngekost...... suka dukanya kebawa ampe tuir.. hehhee
BalasHapuseh lihat deh paragraf ke-4:
BalasHapusbayar kosnya Juni 2010, tapi kegiatan kuliahnya Juli 2003, hebat ya hehehe. Punya mesin pembalik waktu hehehe. pis ;=)
Terima kasih, Mas Adie, perbaikan sudah dilakukan.
BalasHapus