Sosiologi di Sekolah & di Perguruan Tinggi
Sosiologi di Sekolah
“Sosiologi di sekolah” di sini berarti sosiologi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Madrasah Aliyah (MA). Terkecuali di perguruan tinggi (PT), mata pelajaran itu pun baru diberikan dan hanya diberikan pada jenjang SMA maupun MA. Jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ada mata pelajaran sosiologi. Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Dasar (SD), dan Taman Kanak-Kanak (TK), apalagi Play Group (PG), juga tidak ada mata pelajaran sosiologi.
Mengapa sosiologi diajarkan di SMA maupun MA, sementara ilmu yang lain seperti psikologi tidak diajarkan? Mengapa pula antropologi ditiadakan dan rupanya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sosiologi? Karena politik pendidikan yang terwujud dalam kurikulum-lah yang menjadi alasan umum sosiologi diajarkan di bangku SMA maupun MA. Lagi pula, misalnya beberapa konsep psikologi juga diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sosiologi.
Pengintegrasian itu tentu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kedudukan mana yang lebih unggul dari kedua ilmu itu. Malah keduanya bisa saling melengkapi. Apabila kembali pada politik pendidikan dan sifat kedua ilmu tersebut maka sudut pandang sosiologi lebih makro, sedangkan psikologi lebih mikro. Di kemudian hari, perbedaan sudut pandang itu memengaruhi kelebihan maupun kelemahan dari kedua ilmu tersebut.
Tujuan mata pelajaran sosiologi pun telah diuraikan dalam standar kompentensi kurikulum sosiologi untuk SMA dan MA yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2003. Dalam uraiannya, misalnya disebutkan kekaburan pengajaran sosiologi dan antropologi. Dalam standar itu juga disebutkan sosiologi diberikan sejak kelas X atau yang dulu bernama kelas I.
Sebelum tahun 2005 sosiologi baru diajarkan pada kelas 2 SMA atau MA. Jadi, kelas 1 tidak diajarkan mata pelajaran sosiologi. Sebelum tahun itu pun penjurusan ada di kelas 3, yakni kelas atau program IPA, IPS, maupun bahasa. Akan tetapi, setelah tahun 2005 penjurusan sudah diterapkan sejak kelas 2. Lepas dari bahasan ini, penjurusan pada kelas 2 itu pun lebih meringankan siswa yang kemampuan mata pelajaran berhitungnya lemah.
Seiring dengan perubahan penjurusan itu pula, sosiologi diajarkan pada kelas 1. Pada saat yang sama, perubahan itu pun juga terjadi, misalnya penamaan kelas yang berubah sesuai urutan sejak sekolah dasar, yakni kelas VII, VIII, IX untuk jenjang SMP, sedangkan X, XI, XII untuk jenjang SMA. Pengajaran sosiologi sejak kelas X juga untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi ujian nasional (UN).
Dalam kaitan itu, pengajaran sosiologi tidak semata-mata bertujuan pada hasil nilai di rapot maupun di ijasah. Meskipun hal itu sering dianggap penting, tetapi pengajaran sosiologi, termasuk pengajaran mata pelajaran yang lain, tidaklah sesempit itu. Pendidikan mencakup banyak hal dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan dapat berarti pembentukan karakter, proses regenerasi, pemeliharaan peradaban, stabilisasi negara, dan seterusnya.
Materi-materi sosiologi di sekolah ini secara umum masih berupa konsep umum. Malah terkadang konsep-konsep tersebut asing dalam kenyataan yang sesungguhnya atau dalam kenyataan sehari-hari. Di sinilah kreatifitas guru ditantang untuk menjalankan perannya sebaik-baiknya. Dengan demikian, harapannya tidak menjadikan konsep-konsep sosiologi sebagai hal yang kaku atau harga mati.
Kiranya perlu ada kritik terkait dengan konsep-konsep sosiologi dalam materi-materi di sekolah. Konsep-konsep itu adalah hasil abstraksi atas kenyataan, yakni dunia sosial. Sementara itu, konsep-konsep sosiologi dalam bentuk materi pelajaran di SMA maupun MA terkesan statis. Padahal, kehidupan tempat siswa maupun guru berjalan dengan dinamis.
Sementara itu, definisi-definisi konsep dalam buku-buku mata pelajaran sosiologi banyak yang mengutip dari sejumlah tokoh luar negeri. Tentu itu tidak salah, di samping mungkin karena sedikitnya konsep-konsep dalam negeri. Sekali lagi, tidaklah jadi soal apabila konsep-konsep dari tokoh luar negeri itu sebagai pengenalan. Namun, konsep-konsep itu belum tentu sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Hal itu juga mengingat sistem sosial (termasuk sistem ekonomi, sistem politik, sistem budaya, dst) di Indonesia berbeda dengan, misalnya di Eropa maupun di Amerika.
Mengingat posisi sosiologi seperti itu, tentu ada hal yang penting untuk dicatat kembali. Sosiologi pada dasarnya adalah alat. Katakanlah sosiologi itu ibarat sebuah kacamata dalam memandang kehidupan manusia. Sementara tidak hanya sosiologi saja yang mengkaji kehidupan manusia. Ilmu hukum, ilmu psikologi, ilmu agama juga membicarakan tentang manusia. Jadi, masih ada kacamata-kacamata lain.
Pembelajaran Sosiologi di SMA maupun MA
Sekolah tergolong bentuk pembelajaran yang diprogramkan. Kegiatan belajar di kelas lengkap dengan rencana pembelajaran, absensi, materi pembelajaran, keberadaan guru sampai pada evaluasi pembelajaran merupakan perwujudan dari pembelajaran yang diprogramkan ini. Hal yang mencolok dari pembelajaran tersebut lewat mata pelajaran-mata pelajaran yang ada di SMA maupun MA.
Dalam hal ini sosiologi merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di SMA maupun MA. Sebagaimana telah ditulis di atas, sosiologi diajarkan semenjak kelas X. Dalam praktik pembelajarannya lebih banyak menggunakan model ceramah dari guru ke siswa. Di samping itu, juga ada model diskusi antara guru-siswa dan sebaliknya. Diskusi itu juga memungkinkan antar siswa. Kemudian, seiring tuntutan kurikulum, belakangan ini terkadang guru mengajak siswa pergi ke suatu tempat (dikenal dengan kunjungan lapangan) yang dianggap sebagai sasaran kajian sosiologis.
Konsep maupun pembelajaran sosiologi baik di SMA maupun di MA umumnya sama meskipun SMA dan MA memiliki ciri yang berbeda. SMA lebih bersifat umum daripada MA yang lebih agamais. Ada beberapa mata pelajaran yang diberikan di MA, tetapi tidak diberikan di SMA. Misalnya, bahasa Arab. Dalam hal ini posisi sosiologi bersifat bebas nilai sebagaimana itu menjadi salah satu sifat sosiologi.
Jika mencermati buku-buku mata pelajaran sosiologi maka hampir semuanya karya orang-orang yang menggeluti sosiologi nonkependidikan atau sosiologi murni yang notabene berada di PT di universitas. Dengan demikian, orang-orang kependidikan yang fokus pada jenjang SMA maupun MA memakai karya dari orang-orang yang menggeluti sosiologi nonkependidikan dalam pembuatan buku mata pelajaran sosiologi. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, pembuatan buku mata pelajaran sosiologi itu pun tidak melulu memakai referensi buku yang berjudul “sosiologi”.
Sementara itu, soal-soal sosiologi baik dalam bentuk ujian semester maupun ujian nasional tentu juga tidak terlalu jauh dari konsep yang ada di buku mata pelajaran sosiologi. Hanya saja tipe soal lebih variatif sekaligus pengembangan dari konsep-konsep yang ada di buku mata pelajaran. Meskipun ilmu sosial (misalnya sosiologi) dinilai memiliki akurasi analisis yang lebih rendah daripada ilmu alam (misalnya ilmu kimia), pengerjaan soal pun memerlukan nalar. Hal itu berlaku pada pembuatan soal-soal sosiologi di SMA dan MA.
Umumnya mata pelajaran sosiologi maupun ujian mata pelajaran sosiologi tidak menjadi momok bagi siswa. Maka dari itu, siswa bisa saja lebih pintar dari guru sosiologi dalam menjawab soal. Hal itu, antara lain, karena mata pelajaran sosiologi dinilai sebagai mata pelajaran yang mudah. Misalnya dibandingkan dengan ekonomi/akuntasi. Itu dapat dilihat dari rata-rata nilai sosiologi pada ujian nasional. Kendatipun mudah, tetapi perolehan nilai ujian nasional agaknya tetap bertengger pada angka 7,5 dari nilai 10. Tentu saja itu sebatas prediksi dalam lingkup kabupaten.
Sosiologi di Perguruan Tinggi
Sosiologi di perguruan tinggi di Indonesia umumnya ada di universitas. Setiap universitas pun memiliki kebijakan sendiri terkait dengan keberadaan sosiologi. Di Universitas Jember (Unej) sosiologi ada di Program Studi (Prodi) Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sementara itu, di Universitas Indonesia (UI), sosiologi ada di Departemen Sosiologi. Jenjang pendidikan sosiologi sendiri adalah sarjana atau strata 1. Sementara itu, kebanyakan sosiologi di Indonesia tergolong nonkependidikan.
Meskipun bidang akademis sosiologi untuk program IPS, tetapi lulusan IPA juga dapat mengambil bidang tersebut. Dalam universitas hal seperti ini umum terjadi. Selain itu, secara umum lulusan IPA biasanya banyak yang mengambil bidang akademis yang sebetulnya diperuntukkan bagi lulusan IPS. Sebaliknya, lulusan IPS yang mengambil bidang akademis IPS tergolong langka. Memang, pada akhirnya itu dipengaruhi oleh kemampuan individu dan citra sekolah maupun kampus.
Sebagaimana umumnya dalam universitas, dikenal sistem kredit semester (SKS) dalam kegiatan belajar mengajarnya. Hal itu memungkinkan mahasiswa yang secara kemampuan akademis nilainya stabil maka akan lulus dengan tepat waktu, yakni rata-rata empat tahun. Tentu saja SKS ini berbeda dengan kegiatan belajar mengajar di jenjang SMA. Beban SKS untuk program sarjana sendiri minimal 144 SKS. Artinya, untuk meraih gelar sarjana maka seorang mahasiswa harus mengumpulkan minimal 144 SKS yang diambil setiap awal semester.
SKS itu sendiri ada dalam setiap mata kuliah. Misalnya, Sosiologi Agama memiliki 3 SKS; Teori Sosiologi I memiliki 4 SKS; Psikologi Sosial memiliki 2 SKS. Tentu hal seperti ini cukup mudah dipahami oleh mahasiswa, yakni dengan membaca buku panduan yang diberikan saat awal-awal masuk kuliah.
Sepengetahuan saya saat masih kuliah di universitas yang konon “pinggiran” dan “bukan favorit”, mahasiswa atau teman-teman saya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mengikuti perkuliahan. Artinya, selama mereka menempuh studi sarjana umumnya mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan. Kiranya dengan hasil tes IQ kisaran 100 maka mungkin mudah berkuliah di bidang akademis sosiologi. Saya sendiri hasil tes IQ saat awal masuk SMA hanya 96. Hanya saja pada semester VII sejumlah mahasiswa biasanya kesulitan mengerjakan skripsi. Itu pula biasanya yang memperlambat kelangsungan studi. Itu pun saya alami sendiri.
Kemudian, di PT juga ada S-2 sosiologi maupun S-3 sosiologi. Namun, dua jenjang itu hanya ada di PT tertentu, misalnya di Universitas Gajah Mada (UGM). Umumnya pembelajaran di S-2 maupun S-3 relatif sama, yakni dengan SKS.