Kamis, 29 Desember 2011
Perpanjangan SIM C
Senin, 26 Desember 2011
Kamus Kecil
Selasa, 16 Agustus 2011
Dari Dalam Nurani
Dari Dalam Nurani
Tengah hari, Selasa, 29 2011 di telpon seluler (ponsel) milik saya ada pesan pendek (sandek). Bunyinya “Ikuti sayembara menulis di catatan facebook (fb) tentang Nurani Soyomukti. Berhadiah 23 buku Karya Nurani Soyomukti.” Pengirim sandek itu Nurani Soyomukti sendiri. Jika Mas Nurani ini tidak mengirim sandek, mungkin saya tidak tahu jika ada sayembara itu. Lagi pula, saya jarang on line. Juga jarang kunjungi fb miliknya. Namun, di fb saya ada grup Pembaca Buku Nurani.
Kira-kira semester IV saat kuliah di Program Studi (Prodi) Sosiologi saya mengenal Nurani. Saya angkatan 2003, sedangkan Mas Nurani di Hubungan Internasional (HI) angkatan 1999. Kami di fakultas yang sama. Kalau tidak salah saat itu dia menjadi narasumber dalam sebuah diskusi kecil di kampus. Saya mengenal Nurani sebagai sebagai aktivis salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek). Juga berperan dalam demonstrasi mahasiswa dengan mengusung isu tertentu.
Lalu secara lebih akrab saya mengenal Nurani akhir tahun 2009 di akhir masa studi saya. Pertama kali tahu kamar kosnya, di dalamnya terdapat lebih dari 100 judul buku. Dia juga memiliki kliping. Misalnya seputar topik sosial, politik maupun ekonomi. Termasuk artikelnya yang dimuat di koran.
Pada saat itulah saya mengenal Nurani sebagai seorang penulis. Beberapa buku yang dia tulis dan diterbitkan oleh penerbit membuktikan dirinya seorang penulis. Entah berapa judul buku yang dia tulis dan telah diterbitkan. Sebelumnya saya hanya mengenal Nurani sebagai penulis artikel pada kolom opini di koran.
Nurani pula yang saat itu membuatkan saya sebuah blog. Sebelumnya, saya memang memiliki tulisan sederhana. Namun, itu belum pernah saya taruh di tempat umum seperti blog. Pergaulan sesama orang yang hobi menulis itu terkadang juga mendorong saya mengerjakan hobi menulis.
Saya akui. Daya tahan menulis seorang Nurani luar biasa. Saya kalah dengannya. Buktinya dari buku yang telah telah dia tulis dan telah diterbitkan. Produktifitasnya juga tampak di catatan fbnya. Beberapa di antaranya menuai setuju dan tidak setuju. Misalnya tulisannya tentang “Makhluk Parasit itu Bernama PNS”.
Sebagai aktivis gerakan, tulisannya seputar demokrasi, radikalisasi, revolusi dan lain sebagainya. Topik-topik itu pun menandai pandangan-pandangan “kiri”. Pandangan kiri ini secara sederhana berarti individu atau kelompok yang menyuarakan ideologi kiri. Karl Marx yang idenya dikenal dengan Marxisme dekat dengan ideologi kiri ini.
Ideologi kiri ini dikenal sekuler, bersifat duniawi. Karenanya ideologi kiri ini sering berbeda pandangan dengan agamais. Biasanya ideologi kiri ini berdasar pada filsafat materialisme. Sesuatu itu didasarkan atas materi. Sebagaimana itu pandangan Marxisme. Marxisme ini juga berkaitan dengan sosialisme.
Karenanya hampir pada setiap tulisannya, Nurani menyelipkan filsafat materialisme. Dalam salah satu bukunya yang mencoba mengikuti tren, yakni yang mengulas tentang cinta, sepertinya juga tak luput dari pandangan-pandangan dari filsafat materalisme. Sampai pandangan yang sering diulang-ulang itu terkadang membuat orang bosan.
Filsafat materialisme ini memang bisa menggoda. Misalnya, sesuatu itu terdiri dari materi. Jika materi itu bekerja secara terus menerus maka materi itu akan habis. Pada tahap tertentu filsafat itu mengabaikan peran Tuhan. Misalnya jika materi itu adalah manusia. Ciptaan manusia yang baru bisa jadi bukan karena peran Tuhan. Namun, itu terjadi karena bekerjanya materi itu sendiri. Contoh lagi, jika suatu revolusi benar-benar dijalankan maka tidak ada lagi orang kaya dan tidak ada lagi orang miskin. Setiap orang mendapatkan haknya secara sama.
Terkadang pandangan itu dinilai khayal. Mungkin jika memang tiba saatnya pandangan itu bisa menjadi tren. Sebagaimana ramai-ramainya tentang Marxisme itu. Kasus Indonesia adalah keberadaan partai komunis. Walaupun setiap filsafat maupun setiap ideologi juga bisa bersifat seperti halnya filsafat materialisme maupun ideologi lainnya.
Itulah Nurani dari satu sisi. Dia mencoba bereskpresi dalam dari dalam dirinya. Dari dalam dia sebagai Nurani. Sebagaimana sosok manusia biasa juga tak luput dari permasalahan kemanusiaannya. Tentang cinta, keluarga, teman, kuliahnya dan lain sebagainya. Namun, saat Nurani berekspresi dalam bentuk tulis dan kita membacanya mungkin kita akan merasakan tulisan itu melampaui apa yang kita rasakan jika melihat Nurani langsung. Barangkali itulah sifat dari sebuah tulisan.
Akhirnya, menanggapi sandek itu seperti menulis kata pengantar untuk biografi Nurani Soyomukti. Lagi pula saya sebagai teman yang sama-sama hobi menulis, tak ingin melewatkan sayembara ini. Bukan semata-mata karena hadiahnya, melainkan perasaan sebagai sesama orang yang hobi berekspresi dalam bentuk tulis.
Kamis, 23 Juni 2011
Bergantung Pada Orangnya
Bergantung Pada Orangnya
Apakah seorang sarjana akan lebih kaya daripada lulusan SMA? Apakah lulusan IPA akan senantiasa sukses daripada lulusan IPS maupun bahasa? Apakah orang yang kaya itu selalu bahagia? Apakah orang yang miskin itu selalu tidak bahagia? Kiranya masih banyak sederet pertanyaan-pertanyaan maupun pernyataan-pernyataan lainnya.
Mungkin di antara kita pernah terlibat perbincangan seputar satu atau dua yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Saya sendiri pernah terlibat dalam perbincangan berkait dengan pertanyaan pertama di atas. Dalam perbincangan itu muncul pernyataan “bergantung pada orangnya”.
Pada akhirnya memang bergantung pada orang sebagai pelaku. “Pelaku” ini kita anggap sebagai “dia”. Artinya pula jika kita menilai sesuatu kita juga perlu menilainya dari sudut pandang mana. Misalnya pertanyaan apakah seseorang sarjana akan lebih kaya daripada lulusan SMA? Barangkali kita tahu jawabannya. Mungkin kita mendasarkan pada orang-orang di sekitar kita. Ada seorang sarjana, tetapi kekayaannya kalah dengan lulusan SMA. Ada juga seorang sarjana yang kekayaannya melebihi kekayaan seorang lulusan SMA.
Seseorang kaya hanya dengan lulus SMA karena mungkin orang tuanya kaya. Seseorang bisa mengelola kekayaan dari orang tuanya bersama pasangan hidupnya. Misalnya lulusan SMA itu diserahi toko serba ada oleh orang tuanya. Sementara ada lulusan sarjana yang hanya mengandalkan dia diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) walaupun pada akhirnya dia tidak bisa menjadi PNS. PNS nyatanya hanya impian bagi si sarjana.
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya sebuah dramatisasi. Kita memang sah-sah saja saat dihadapkan pada sesuatu, lalu kita berkata “bergantung pada orangnya”. Namun, kita juga perlu ingat, dalam kasus-kasus tertentu dalam memandang sesuatu itu hendaknya juga melihatnya tidak hanya dari si pelaku semata.
Minggu, 19 Juni 2011
Sebuah Situasi di Kelas
Sebuah Situasi di Kelas
Seseorang yang berprofesi sebagai guru sukarelawan (sukwan) di sebuah sekolah dasar (SD) di sebuah kota menceritakan pengalamannya pada saya. Sebutlah namanya M. Akhir Mei 2011 lalu M seakan putus asa dengan salah satu siswanya yang bandel. Sebutlah namanya S. Saat pelajaran berlangsung, S merebut tempat pensil milik temannya. S juga mudah berkata-kata kotor. Suatu hari tanpa alasan S mengucapkan kata-kata yang tidak pantas itu pada M. M sendiri baru setengah tahun mengajar di SD tersebut.
Seakan-akan M putus asa dengan polah S. Teguran secara lisan sudah dia lakukan. Termasuk nasihatnya agar S tidak berkata-kata kotor lagi. Memanggil nama dengan keras juga sudah dilakukan M. Terkadang perilaku S itu mengganggu siswa lain, khususnya selama kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung di kelas. M sendiri tampaknya belum pernah menghukum, misalnya menyuruh S berdiri di depan kelas.
Rotasi tempat duduk juga sudah dilakukan. Tujuannya agar terjadi penyegaran penghuni kelas. Misalnya, siswa yang biasanya mengganggu siswa di sebelahnya bisa terpisah. Paling tidak rotasi itu bisa memisahkan untuk sementara waktu. Selain itu, sudut pandang mata siswa terhadap papan tulis juga tidak monoton meskipun hanya beberapa derajat.
Kemudian, dari pengakuan S, dirinya berujar jika pendukung kesebelasan sepak bola di daerahnya juga ada kata-kata seperti yang dia ungkapkan itu. Kata M, S juga memiliki saudara yang di bagian tubuhnya ditindik. Orang tua dari S menurut M tampaknya juga tidak begitu perhatian pada S.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. S ini agaknya mencitrakan bahwa di kelas II tempat M menjadi guru kelas bisa menjadi kelas yang sulit dikelola. Memang, dalam satu kelas yang terdiri atas 30 siswa itu sekaligus ada 30 karakter yang berbeda-beda. Pada saat yang sama, katakanlah gaya belajar setiap siswa juga berbeda-beda.
M sebagai guru tentu ingin agar KBM berlangsung lancar. Terkadang saat kelas ramai dan sulit dikendalikan, M sampai memukulkan penggaris pada meja. M sendiri menyadari jika situasi ramai itu bisa saja terjadi. Termasuk M memaklumi dengan tingkah laku anak di kelas tersebut. Karenanya M ingin tetap sabar dalam menjalankan tugasnya sebagai guru.
Rabu, 08 Juni 2011
Buku di Malang Tempoe Doeloe
Buku di Malang Tempoe Doeloe
Karena sebuah alasan, Sabtu, 21 Mei 2011 saat itu saya pergi ke Malang. Saya berangkat dari rumah, Nganjuk, pukul 08.00 dengan mengendarai sepeda motor dengan silinder 110 cc. Saya tiba di salah satu kabupaten di Jawa Timur itu pukul 11.45, di sebuah tempat di kawasan kampus. Perjalanan melewati Kecamatan Pare, Kediri, dan Pujon, Malang itu merupakan kali pertama bagi saya. Jika melihat atlas maka rute itu menembus kompleks pegunungan Anjasmoro dan pegunungan Kawi. Jalan beraspal yang berkelak kelok, tebing di sisi jalan, dan aroma hutan pegunungan pun menjadi pemandangan yang khas.
Sabtu itu pula, sekitar pukul 13.00, agenda selama di Malang adalah mengunjungi Malang Tempoe Doeloe (MTD). MTD ini mirip bazar, tetapi dengan nuansa zaman dulu. Misalnya bangunan stan, pakaian yang dikenakan, sebuah motor juga satu dua mobil yang dipamerkan, serba mengesankan zaman dulu. Kebanyakan stan menyajikan makanan, minuman yang mengingatkan saat masa kecil. Misalnya gulali. Jadi, makanan di stan itu juga dijual. Selain itu, juga ada stan yang menawarkan hasil kerajinan. Misalnya wayang.
Awalnya, saya bertanya-tanya dalam hati apakah di MTD ini ada stan yang menjual buku, khususnya buku-buku lama. Akhirnya ada juga sebuah stan yang khusus menjual buku-buku terbitan lama. Selain buku juga ada majalah yang juga terbitan lama. Misalnya terbitan sebelum tahun 1995. Semua bacaan itu dijual.
Saya terkesan dengan stan khusus yang menyediakan buku maupun majalah terbitan lama ini. Ada sejumlah buku jenis pemikiran. Misalnya pemikiran intelektual Muhammadiyah. Ada juga karya sastra berjudul Karier dan Jodoh karya La Rose. Entah semuanya terbitan kapan, yang jelas diterbitkan sebelum tahun 2000. Sepertinya pemilik stan itu sengaja membidik pembaca dari kalangan mahasiswa dan umum.
Saya juga heran dengan diri saya sendiri. Dulu sewaktu masih menjadi mahasiswa, khususnya rentang antara tahun 2007 sampai 2008 terkadang saya tidak bisa menahan untuk tidak membeli buku terbitan lama yang menarik saya. Misalnya buku berjudul Sinonim (1989) oleh Soedjito, terbitan Sinar Baru Bandung. Saat itu kalau tidak salah harganya Rp 15.000,-. Namun, 21 Mei 2011 itu saya tertarik dengan judul Karier dan Jodoh karya La Rose itu. Akan tetapi, saya tidak ingin membelinya. Bahkan, menanyakan berapa harganya pada penjual pun saya enggan. Akhirnya setelah itu saya menyesal mengapa saya tidak menanyakan harganya.
Gagal Panen
Gagal Panen
Daun tanaman padi milik Pak Tomo (60 tahun) yang berumur sekitar 65 hari itu mengering karena wereng coklat (7/06/2011). Tanaman padi di sawah milik Pak Rakidi (56 tahun) malah lebih buruk lagi. Semua daunnya mengering menjadi jerami. Hampir dapat dipastikan tanaman padi milik Pak Tomo akan seperti milik Pak Rakidi. Tanaman padi mengering dan akhirnya mati. Tinggal menunggu hitungan hari. Hama wereng coklat juga mengganas di sawah milik petani lainnya.
Dipastikan pula pada musim tanam April-Juni 2011 ini sawah di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Nganjuk, akan puso, gagal panen. Masa tanam antara April-Juni dalam sejarahnya memang tidak menguntungkan. Namun, agaknya lebih dari dua puluh tahun terakhir ini tingkat kerusakannya tidak seperti masa tanam kali ini. Benar-benar parah.
Padahal, dengan umur seperti itu padi bisa dipanen sekitar satu bulan lagi. Awal Juni 2011 ini adalah saat panen. Selama itu pula, para petani bisa rugi ratusan ribu sampai puluhan juta. Bahkan, untuk lingkup satu dusun saja seperti Dusun Wates itu, kerugian bisa mencapai 100 juta lebih. Pada panen yang lalu Pak Tomo bisa mendapatkan uang Rp 12 juta. Namun, dengan situasi sekarang, lebih buruk lagi sawah tidak menghasilkan Rp 1,- pun.
Sebelum ada wereng, tanaman padi yang kebanyakan dari varietas Bagendit itu tumbuh subur. Konon, kerusakan tanaman padi dari varietas Membramo lebih cepat dibandingkan dengan Bagendit. Para petani sangat berharap mereka dapat memanennya. Maklum, pada panen sebelumnya kuantitas padi juga merosot. Bulir padi banyak yang kosong, tetapi petani masih bisa memanen.
Namun, sudah beberapa minggu ini hama wereng menggila. Hama wereng, yakni sejenis hewan yang bisa terbang dan ukurannya kurang lebih seperti biji jambu biji itu makan tak pernah kenyang. Hewan yang berwarna hitam kecoklatan ini jumlahnya ribuan. Menempel pada daun, batang, hampir pada seluruh tanaman. Perkembangbiakannya juga cepat. Karenanya, sepanjang mata mamandang dalam waktu 24 jam bisa mengeringkan daun tanaman padi di sawah. Tanaman menjadi jerami, tetapi masih menancap di tanah.
Ada cerita yang beredar di kalangan petani. Daun tanaman padi yang kering itu jika diberikan pada sapi maka sapi bisa mati. Karenanya, tidak ada satu pun petani yang berani memberikannya pada sapinya. Petani memilih mencari rumput di pematang untuk pakan ternaknya.
Pada minggu kedua di bulan Juni 2011 ini, ada pula salah seorang petani yang telah membakar sedikit tanaman padinya di sawah. Ada juga sebagian petani yang membiarkan tanaman padinya diporakporandakan oleh wereng. Selama itu ada pula petani yang masih berusaha menyelamatkan tanaman padinya dari serbuan wereng yang ganas.
Caranya dengan menyemprotkan pestisida dengan alat semprot tangan. Seperti yang dilakukan oleh Puguh (27 tahun). Sejak masa tanam, yaitu awal April 2011 lalu Puguh telah memakai berbagai jenis merek pestisida. Sejak itu sampai sekarang Puguh telah kurang lebih empat kali menyemprot. Dalam keadaan normal Puguh menyemprot sawah milik ayahnya itu sekitar 9 tangki.
Pada minggu kedua di bulan Juni 2011 ini sawah yang diserang wereng disemprot sebanyak 4 tangki. Sebelum diserang cukup 2 tangki. Dengan volume itu Puguh berharap wereng bisa mati. Namun, sehari setelah disemprot wereng masih saja belum mati. Kalaupun mati maka masih ada telur wereng yang menggantikan wereng yang sudah mati.
Satu dua petani lainnya pun seakan kehilangan cara. Ada petani yang mencampur pestisida dengan deterjen yang biasa dipakai untuk mencuci baju. Ada pula yang mencampurnya dengan merek untuk pelembut atau pewangi pakaian. Bahkan, ada petani yang mencampurnya dengan solar ataupun oli dengan dosis tertentu. Ada juga salah seorang petani yang menyemprot tanaman padinya dengan cairan yang biasanya dipakai sebagai obat nyamuk. Deterjen, solar, maupun oli ini sebetulnya tak lazim untuk menyemprot tanaman padi.
Satu dua petani juga berusaha lewat supranatural. Ada yang meminta bantuan orang pintar. Caranya orang tersebut mengelilingi tanaman padi saat malam hari. Orang itu tidak tidur selama satu malam. Di setiap sudut petak sawah diberi batang daun pisang yang sudah kering. Beberapa petani juga memberi sesajen berupa karak atau bekas nasi yang dijemur dengan lauk balur yang sebelumnya telah diberi doa. Namun, upaya itu tak mampu menghalau wereng yang tidak punya belas kasihan.
Dampak dari kegagalan panen kali ini memang besar. Dalam jangka sekitar empat bulan ke depan keganasan hama wereng ini membuat sapi tidak bisa makan jerami. Secara umum petani bisa-bisa menunggak membayar utang dari pupuk yang dibeli dari kelompok tani. Mereka terancam tidak bisa membayar utangnya. Lagi pula, dalam keadaan tanaman subur, modal untuk pemeliharaan tanaman padi sejak awal sampai panen rata-rata 40 % dari total hasil panen. Belum lagi beban biaya untuk menanam padi selanjutnya.
Pada pertengahan minggu kedua di bulan Juni 2011 ini sedikit petani mulai memanen padinya, lebih awal. Padahal, normalnya padi baru bisa dipanen kurang dari satu bulan lagi. Dengan hasil yang sedikit itu mereka berharap hasilnya bisa dimakan. Sambil berharap masa tanam selanjutnya tidak seburuk seperti sekarang ini.
Sabtu, 14 Mei 2011
Guru Jegog (menempeleng) Siswa
Guru Jegog (menempeleng) Siswa
Kasihan siswa itu. Kamis, sore hari, 12 Mei 2011 dalam program berita, sebuah stasiun televisi menayangkan guru yang menempeleng seorang siswa, laki-laki. Ibu guru yang tampak sudah berumur itu jegog atau jegug berulang kali seorang siswa saat mengerjakan ujian nasional (UN) di sebuah Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Keesokan pagi harinya sebuah stasiun televisi lainnya juga menayangkan peristiwa penggamparan tersebut. Saya berusaha mencari arsip berita itu di internet, tetapi tidak menemukan.
Dalam Kamus Jawa-Indonesia (2004) karya Purwadi, jegog atau jegug ini berarti di tekan kepalanya. Orang Jawa tentu tahu arti istilah jegog. Saya sebetulnya kesulitan mencari padanan kata jegog ini. Akan tetapi, jegog itu agaknya satu makna dengan tampar, tempeleng, dan pukul. Namun, tampar biasanya memukul pipi dengan telapak tangan.
Kemudian, demi etika jurnalistik, kamera menyamarkan tapak tangan kanan si guru saat menekan-nekan kepala si siswa. Wajah dan kepala siswa yang di-jegog itu juga disamarkan. Namun, pemirsa tentu tahu, tangan si guru membentur-benturkan kepala siswa berulang kali. Si guru tidak disamarkan. Saat membentur-benturkan kepala, si guru juga membentak-bentak siswa yang duduk di bangkunya, belakang kelas tersebut.
Guru tampak kesal karena siswa tersebut tampak sulit menuliskan biodata di kertas lembar jawaban saat UN. Dalam berita di televisi itu juga dikatakan siswa tersebut awalnya terlambat masuk kelas saat UN. Saat diperlakukan seperti itu, siswa tersebut diam saja. Kameramen televisi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam tayangan itu juga disebutkan siswa tersebut tergolong tuna rungu. Karenanya bersekolah di SDLB.
Entah bagaimana kenyataan yang sesungguhnya. Mungkin si guru berwatak mudah marah. Selama menjalankan profesinya mungkin sang guru terbiasa dengan gaya mengajar kemarahan. Terkadang memang ada tipe guru seperti itu. Dari raut wajah siswa yang di-jegog-nya tidak tampak dia siswa yang bandel.
Kadang-kadang memang tidak mudah mengendalikan amarah. Khususnya saat menghadapi siswa dengan berbagai sikap, kepribadian, penampilan fisik dan latar belakang hidupnya. Saat guru mengabsen dan ada siswa yang acungkan tangan dengan tangan kiri maka mungkin guru bisa marah. Sikap siswa itu tentu tidak sopan. Marah adalah sifat dan sebetulnya bisa dikendalikan.
Namun, bagaimanapun juga tindakan guru itu tidak terpuji. Tidak pantas dilakukan oleh seorang guru. Pemirsa yang menyaksikannya akan banyak yang menyayangkan tindakan guru tersebut. Tindakannya termasuk kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal. Kekerasan fisik bisa menimbulkan luka fisik. Kekerasan verbal atau kekerasan dalam bentuk kata-kata kasar bisa menyisakan luka batin.
Secara pribadi saya kasihan dengan siswa itu. Saya juga menyesalkan atas tindakan guru tersebut. Kejadian yang ditayangkan televisi itu menjadi pelajaran bagi pemirsanya. Tindakan seperti itu salah. Guru yang tidak disamarkan dalam tayangan itu pun sebagai bentuk sanksi atas tindakannya yang keliru.