Pendidikan Profesi Guru
Saya ketinggalan informasi saat saya tidak mengambil Akta Mengajar IV (A-IV). Saat itu awal 2008 sejumlah teman seangkatan saya mengambil A-IV di sebuah lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Jember. Umumnya mereka sudah wisuda. Namun, beberapa adik tingkat saya yang belum wisuda juga ada yang mengambilnya. Saya sendiri saat itu belum wisuda.
Saat itu, awal 2008 seorang teman mengatakan isu tentang A-IV yang tidak diakui. Namun, jika A-IV tidak diakui mengapa ada lembaga pendidikan swasta yang masih menyelenggarakan. Sebuah lembaga pendidikan negeri di Jember pun tidak menyelenggarakan A-IV sejak sekitar 2003. Rupanya sejak saat itu hanya lembaga swasta yang menyelenggarakannya. Sejak 2008 dalam satu angkatan peserta A-IV tidak lebih dari 50 orang.
Teman saya itu juga mengatakan peserta A-IV sebetulnya untuk mahasiswa yang sudah lulus enam bulan sejak wisuda. Namun, buktinya sejumlah adik kelas saya tadi bisa ikut A-IV. Penyelenggara A-IV sendiri juga mendapatkan uang dari peserta A-IV. Dengan A-IV itu mereka berharap bisa menjadi guru yang Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS, sebuah profesi yang banyak diimpikan oleh anak negeri ini.
Akhirnya, sejak 2010 teman saya itu menjadi guru sosiologi di Kabupaten Bondowoso. Dia menggunakan ijasah sarjana sosiologi nonkependidikan dan A-IV. Dia bersyukur sebab bisa bekerja, tak jauh dari kampung halamannya, yakni Banyuwangi. Artikel tentang A-IV ini bisa dibaca di judul yang lain tentang A-IV dalam blog ini.
Kira-kira tahun 2008 itu pula bergulir wacana Pendidikan Profesi Guru (PPG). Rencananya PPG itu menggantikan A-IV. Rancangan PPG pun telah dibuat pada Juli 2008. Peserta PPG adalah lulusan program sarjana, baik yang pendidikan maupun nonkependidikan. Dalam situsnya, sebuah koran nasional pun memberitakan PPG akan dibuka pada September 2009.
Saya sendiri saat itu wisuda pada Maret 2009. Setelah membaca informasi di koran itu, saya berencana ikut PPG pada September 2009 itu. Semenjak itu saya berusaha mengikut berita PPG. Misalnya, dari internet, dari teman lewat telepon seluler (ponsel), dan dari sejumlah guru yang PNS.
Sampai September 2009 tidak ada lembaga yang menyelenggarakan PPG untuk nonkependidikan seperti saya. Kabarnya, PPG sejak 2009 itu sudah ada, tetapi untuk guru (yang PNS) Sekolah Dasar (SD) di sebuah lembaga pendidikan negeri di Surabaya. Seorang teman pun mengatakan salah satu syarat seseorang ikut PPG adalah ada rekomendasi dari pihak terkait. Pada saat yang sama, PPG pun diliputi ke-simpang-siur-an informasi, bahkan informasinya tidak jelas.
Sejak November 2010 sampai Agustus 2010 ini saya pun bertanya dengan maksud melamar lima Sekolah Menengah Atas (SMA) di Nganjuk. Namun kelimanya memiliki alasan yang bervariasi. Intinya kelimanya menolak lamaran saya. Misalnya, mungkin saya bisa menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) atau tenaga honorer, tetapi pada tahun 2010 dan ini akhirnya hanya janji. Ada juga SMA swasta yang guru sosiologinya sudah ada meskipun guru tersebut sesungguhnya pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selain itu, seorang kepala sekolah di SMA negeri mengatakan sejak tahun 2006 ada edaran agar sekolah tidak menerima GTT.
Dengan hanya modal ijasah sosiologi nonkependidikan saya sesungguhnya nekat melamar di SMA-SMA tersebut. Tujuannya terkait rekomendasi kata teman saya itu. Harapan saya dengan lamaran itu dapat diterima menjadi GTT dan bisa ikut PPG nantinya. Di dusun tempat tinggal saya, status guru cukup terpandang meskipun mereka tahu gaji GTT tergolong rendah. Potret nasib GTT yang gajinya tampak memprihatinkan yang ingin diangkat menjadi PNS seperti yang diberitakan oleh Radar Nganjuk pada Jumat, 29 Agustus 2010.
Katanya, masih banyak potensi desa maupun dusun yang bisa diberdayakan. Bayangan itu membuat saya ingin di dusun tempat lahir saya ini. Rencananya saya ingin bertani padi dan meneruskan bisnis gabah orang tua. Dua hal itu telah terwujud dan telah saya rintis. Di samping itu, saya ingin memiliki rumah baca. Namun, saat saya belum mengajar sosiologi maka ijasah sarjana saya tampak sia-sia. Saya sama saja dengan orang yang tidak kuliah di dusun saya ini. Itulah alasan pribadi saya yang mungkin naif.
Kesia-siaan itu pun sering membuat saya menyusun rencana lain. Misalnya, merantau ke Kalimantan menjadi PNS. Namun, saya pun masih dibayangi oleh sertifikat pendidik yang belum saya miliki. Sementara PPG yang menjanjikan sertifikat pendidik informasinya masih saya terima secara tidak jelas. 25 Agustus 2010 yang lalu saudari saya mengatakan, mungkin PPG untuk PNS dibuka November 2010 ini. PPG untuk yang bukan PNS masih tahun 2011.
Saudari saya itu hanya dengar-dengar saja sehingga informasi itu belum pasti. Sama hal teman saya yang katanya PPG di Jember akan di buka pada Oktober atau mungkin November 2010 ini. Jika saya amati sejak awal 2008 itu sampai sekarang di internet, banyak lulusan strata 1 khususnya yang nonkependidikan menanyakan tentang PPG. Tidak terkecuali mereka yang bertanya lewat situs resmi Departeman Pendidikan Nasional lewat direktoratnya. Namun, PPG juga masih belum jelas. Pihak berwenang sepertinya memberikan jawaban yang mengambang.
Entah apakah saya yang tidak mengikuti informasi. Namun, 2 September 2010 saya mengakses informasi mengenai PPG dari internet. Setelah membacanya, syaratnya sungguh berat bagi saya yang lulusan sosiologi nonkependidikan ini. Misalnya “Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 35 tahun pada saat mendaftar.”
Kiranya tujuan PPG adalah baik. Misalnya, meningkatkan profesionalitas guru dalam mengajar dan mendidik. Aturan-aturan dalam PPG itu pun bertujuan baik. Namun, sepertinya aturan itu menghalangi lulusan nonkependidikan untuk mengikuti PPG, yakni menjadi guru. Bisa jadi itulah bagian dari pengangguran “lulusan kuliahan”. Apalagi terpaku dengan mengharap bekerja sebagai guru di kabupaten ini. Apalagi guru PNS maka betapa mustahilnya harapan itu bisa terwujud.
Sampai Agustus 2010 ini saya yang hanya berijasah sarjana sosiologi nonkependidikan ini tidak bisa mendaftar PPG. Belum ada lembaga yang menyelenggarakannya, khususnya untuk lulusan nonkependidikan. Padahal, saya sungguh berharap bisa ikut PPG. Itu setelah rencana saya menjadi dosen telah gagal diwujudkan.
Sampai sekarang saya sepertinya masih akan menunggu PPG yang belum jelas itu. Sejak 2008 itu saya berpikir untuk tidak curang dengan membeli A-IV seperti salah seorang teman seangkatan saya yang kabarnya membelinya sehingga dia bisa menjadi guru sosiologi yang PNS.
Saya yakin ijasah Panjenengan tidak akan pernah sia-sia. kalaupun PPG tidak pernah dan kesempatan menjadi guru belum ada. Pasti Tuhan memiliki rencana lain yang terbaik bagi Panjengan.
BalasHapusSelamat berjuang mas Puguh.
Terima kasih, bu.
BalasHapusyang sudah S.Pd. saja susah jadi guru mas,apalagi sampean yang sarjana murni.tapi, saya apresiasi keinginan anda untuk menjadi guru.
BalasHapusUntuk sarjana pendidikan sosiologi siap2 dapet saingan jadi guru sosiologi dari sarjana sosiologi murni..he2
Yach begitulah dunia pekerjaan. Khususnya seleksi guru.
BalasHapusHAI MAS .........puguh aq juga anak sosiologi"di fakultas dakwah "IAIN SUPEL SBYA ,BLEH NNAYAK GAK EMANG SELAIN JADI GURU GAK kepingin jadi pns di instansi lain apa?sku tsmbsh bingung juga nieh...
BalasHapusIngin juga sich...Silakan baca judul CPNS 2010.
BalasHapusMas. Saya adik angkatan sampean, saya sekarang juga ngajar di SMA. Sampai sekarang saya juga blm tau tentang PPG sosiologi. Info terakhir dari kakak angkatan juga yg udah jd guru. Katanya PPG itu biayanya sekitar 18 jutaan Mas. Atau bagaimana jika kita tak nempuh PPG. Tapi ambil S2 pendidikan IPS peminatan sosiologi
BalasHapussemangat sobat. perjuanganmu t akan sia2
BalasHapus