Senin, 27 Desember 2010

Dua Tahun Ngeblog

Dua Tahun Ngeblog

Saat itu awal November 2008 sekitar pukul 18.30 saya ditraktir makan oleh seorang teman di warung di pinggir jalan, dekat alun-alun Kota Jember. Di depan warung, sebelum kami hendak pulang, kami berbicara tentang blog. Teman saya yang penulis itu sudah punya blog. Katanya pembuatannya cukup mudah. Syaratnya harus punya alamat surat elektronik. Katanya pula blog itu situs yang sederhana dan gratis.

Saya tertarik dan dia bersedia membantu saya membuat blog. Kemudian, dia membuatkannya di blogspot seperti miliknya. Saat itu saya merasa senang memiliki situs sendiri dengan alamat puguh-sosiologi.blogspot.com. Blognya saya namai dunia sosiologi. Namun, awal November 2010 saya menggantinya menjadi puguh sosiologi.

Saya merasa nama depan saya itu lebih tepat. Sebagian bloger juga memakai nama mereka sendiri. Selain itu, nama itu lebih mewakili keseluruhan isi blog. Jika dunia sosiologi maka itu hanya mewakili tulisan saya tentang sosiologi. Padahal, ada tulisan tentang saya sendiri maupun tulisan yang tidak berhubungan dengan sosiologi. Kata sosiologi itu sendiri semacam merek.

Akhirnya, 29 Desember 2008 saya ngeblog. Tulisan pertama saya berjudul Ke-ber-agama-an Mahasiswa Sosiologi. Pemublikasian itu merupakan bentuk atas keinginan saya dalam menulis dan ingin menjadi penulis. Lewat tulisan itu saya juga berharap orang lain tahu siapa saya. Layaknya orang-orang kampus, saya ingin mengajak orang-orang di program studi saya berdiskusi, khususnya lewat tulisan. Sayangnya, sampai saat ini diskusi itu masih sangat sepi.

Sebelumnya, saya mengetahui tentang blog sebagai situs pribadi. Juga sebagai situs jejaring sosial. Pada 2006 saya mengenal orang Indonesia yang studi sosiologi di luar negeri yang juga memiliki blog. Namun, akhirnya beliau pindah dari blogspot. ke .com. Saya baru mengetahuinya sekitar tahun 2009.

Blog sendiri mulai populer pada awal 2000-an. Jadi, jika saya memiliki blog pada November 2008 maka saya tergolong ketinggalan. Sejumlah teman saya juga telah membuat dan mengelolanya sebelum tahun 2008. Tampilan blog mereka lebih baik dari saya. Isinya juga lebih baik. Pengunjung blognya juga lumayan banyak. Setidak-tidaknya dibandingkan dengan blog milik saya, sampai sekarang ini.

Bahkan, saya kalah dengan blog yang dikelola oleh adik kandung saya satu-satunya. Dia mengelola blognya dalam bahasa Inggris, sedangkan saya selalu memakai bahasa Indonesia. Agaknya di antara kita memiliki darah yang sama dalam hobi menulis. Publikasi tulisannya pun hampir selalu memperoleh kunjungan bloger lain berupa komentar.

Kira-kira tahun 2009 yang lalu, teman saya yang juga bloger membantu memperbaiki tampilan blog saya. Maklum, saya jarang mengutak-atik tampilannya dan lebih memperhatikan tulisan yang saya publikasikan. Misalnya, dia memberitahu cara untuk menyaring atau moderasi komentar yang masuk. Teman saya itu juga membantu membuatkan kotak pesan.

Moderasi komentar itu kiranya penting. Tujuannya untuk menghindari komentar yang tergolong tidak mengenakkan. Namun, sekarang saya baru sadar jika seseorang bisa saja menulis komentar di kolom pesan yang tidak ada moderasi komentarnya.

Saya menyadari sendiri ada sejumlah tulisan saya yang tergolong tajam. Misalnya, judul “Berorganisasi? Penting Nggak Sich?”. Dalam hal ini saya berupaya mengikuti kode etik bloger sebagaimana kode etik dalam jurnalistik. Contohnya, saya menyembunyikan identitas, misalnya nama orang. Meskipun demikian, di mana pun, kode etik itu bisa bersifat relatif.

Saya juga menyadari, tulisan saya di blog ini terbatas untuk konsumsi blog itu sendiri. Artinya, tulisan saya ini masih belum bisa menjadi sebuah buku konvensional sebagaimana impian saya selama ini. Lagi pula, perhatian orang-orang pada blog ini sangat sedikit. Sebuah artikel dari satu penulis yang rutin dimuat di koran nasional saja tidak menjadi buku. Apalagi isi blog saya yang tentu kalah dengan penulis papan atas.

Saya pun menyadari tulisan di dalam blog saya ini memiliki daya informasi yang rendah. Daya inspirasi maupun daya edukasinya pun terbilang rendah. Saya juga tergolong jarang on line. Karena itu, saya pun jarang mengunjungi blog orang lain. Padahal, dengan kunjungan blog dan meninggalkan komentar maka secara langsung mempromosikan blog yang saya kelola.

Tulisan ini memperingati dua tahun saya ngeblog. Jatuh pada 29 Desember 2010 ini. Sekaligus ini sebagai hadiah untuk saya sendiri yang berulang tahun ke-26 pada 28 Desember 2010 ini. Juga untuk menyambut tahun baru. Sebagai hobi, syukurlah selama dua tahun ini setiap bulan saya memperbarui tulisan. Sebagai hobi, saya memang tidak mendapatkan uang, tetapi saya berusaha menikmati hobi saya ini. Sekaligus ini melengkapi tulisan saya yang lain tentang saya dan blog. Tulisan ini juga menampakkan saya mengulangi lagi apa yang telah saya tulis sebelumnya.



Utang

Utang

Saya masih ingat seorang teman kos masih berutang Rp 3.000,- pada saya. Kira-kira saat itu tahun 2004. Dia meminjam uang pada saya untuk galon isi ulang yang dia beli. Bukan karena teman saya itu tidak punya uang, tetapi saat itu dia tidak punya uang kecil. Dia sempat mau membayar utangnya itu pada saya. Namun, tidak jadi. Entah apa alasannya. Seiring berjalannya hari dia tidak mengembalikan utangnya itu. Dia lupa.

Saya tidak bermaksud mengungkit utangnya. Setelah kira-kira lebih dari seminggu saat itu saya juga tidak enak menanyakannya lagi. Hitung-hitung dia pernah mentraktir 15 orang teman kosnya minum di sebuah kafe. Satu di antara yang ikut traktiran adalah saya. Traktiran itu sebagai perayaan akan ulang tahunnya. Maksud saya di sini, hendaknya jangan pernah lupa akan utang kita.

Oktober 2010 saya juga pernah berhutang Rp 20.000,- pada seorang teman. Saat itu saya ganti plat pikap di kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Kebetulan uang saya kurang Rp 10.000,- dan saya bertemu dengan teman saya itu. Utang Rp 20.000,- itu baru bisa saya kembalikan satu minggu kemudian. Saya sempat menghubunginya lewat ponsel. Saya ingin mengembalikan uangnya, sebelum saya ke luar kota. Selama seminggu di luar kota itu saya hampir lupa dengan utang saya itu.

Sebagai pengusaha gabah, ayah saya juga pernah berutang pada suatu lembaga keuangan mikro. Sementara sekarang sudah tidak lagi. Saat ini juga masih berutang pada pegadaian dengan bunga Rp 0,9 % dengan jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Setiap bulan mengangsur Rp 1.614.900,-. Seorang pengusaha gabah di Tulungagung juga pernah berutang Rp 7.000.000,- pada ayah saya. Waktu itu pengusaha itu membeli gabah dan uangnya sebagian belum dilunasi. Hanya memberi janji. Akhirnya, ayah saya termakan oleh kelicikan pengusaha gabah itu.

Penagihan sudah diupayakan. Namun, orang itu tidak pernah bisa ditemui lagi di rumahnya. Karena tidak tahu, jalur hukum pun tidak ditempuh. Jika menempuh jalur hukum maka juga harus keluar uang lagi. Itulah risiko berbisnis.

Akhir tahun ini, di kampung ini sedang paceklik. Padi juga baru berumur sekitar satu bulan. Tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Kebanyakan orang bekerja mencari rumput untuk pakan ternak, khususnya sapi. Sejumlah orang pun menjual sapinya. Sayangnya, harga sapi sangat merosot. Anak sapi harganya Rp 2.300.000,-. Padahal, jika sedang bagus, harganya bisa mencapai Rp 4.000.000,-.

Sejumlah orang mulai mencari utang pada rentenir kampung dengan bunga tertentu. Di kampung, rentenir ini tidak selamanya buruk. Terkadang sinetron di televisi mencitrakannya sebagai orang tak punya rasa belas kasihan. Tidak peka rasa kemanusiaannya dan suka mengancam. Rentenir kampung juga melihat profil peminjam. Tidak setiap peminjam itu bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya.

Rentenir kampung ini juga berperan dalam peredaan uang di kampung. Orang kampung mungkin tidak berani berutang pada seorang bidan desa saat orang itu berobat. Namun, orang bisa berani menunggak utang pada seorang rentenir kampung. Ajaran agama pun mengharamkan riba atas bunga seperti yang rentenir lakukan. Namun, di sisi yang lain orang membutuhkan rentenir. Bahkan, ada rentenir yang meminjamkan uangnya tanpa jaminan, tetapi hanya dengan kepercayaan.


Pameran Buku di Kota Kecil

Pameran Buku di Kota Kecil

Senin, 6 Desember 2010 sekitar pukul 11.00 saya pergi ke pameran buku di sebuah gedung di pusat kota, Kabupaten Nganjuk. Hari itu merupakan hari pertama pemeran diselenggarakan sampai 12 Desember 2010. Saya sengaja datang di hari pertama dengan alasan persediaan buku di pemeran masih ada. Selain itu, hari pertama biasanya ramai pengunjung. Tarif parkir parkir motor di pameran yang dibayarkan di muka sebesar Rp 2.000,- pun terbilang mahal.

Pukul 11.00 saat itu pembukaan oleh bupati Nganjuk baru saja selesai dilaksanakan. Sejumlah undangan termasuk sebagian pelajar juga turut hadir dalam acara pembukaan tersebut. Rupanya hari itu pelajar di Nganjuk pulang lebih awal. Sebagian di antara mereka menyempatkan diri mampir di pameran tersebut. Mungkin, antara lain, karena keesokannya, 7 Desember 2010 libur 1 Hijriah.

Sebelumnya, penyelenggaraan pameran buku itu telah disosialisasikan. Sampai pameran itu dilangsungkan. Misalnya, spanduk dipasang disejumlah titik seperti di perempatan lampu lalu lintas. Pamfet juga disebar seperti di perpustakaan daerah Kabupaten Nganjuk. Sosialisasi juga dilakukan di sekolah-sekolah, antara lain, secara lisan. Itu dilakukan sebagai upaya pemasaran atau penjualan buku dalam pameran tersebut.

Hari pertama itu pengunjungnya terbilang ramai. Di dominasi oleh pelajar, khususnya SMP dan SMA dan yang sederajat. Itu terlihat mereka masih mengenakan seragam sekolah saat mengunjungi pameran tersebut. Di susul kalangan umum dan kalangan guru. Kalangan-kalangan seperti itulah yang biasanya menjadi konsumen buku.

Pameran buku di kota kecil di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur ini tergolong jarang. Tahun 2009 yang lalu di kota tempat lahir saya ini tidak ada pameran buku. Tentu itu berbeda dengan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang, apalagi Yogyakarta. Pameran buku umumnya memang rutin digelar di kota besar atau kota yang memiliki sejumlah perguruan tinggi.

Saat itu saya sempat menduga pameran buku itu akan sepi pengunjung. Namun, dugaan saya itu keliru dengan ramainya pengunjung di hari pertama. Saat saya datang di kasir terlihat antrean orang membayar buku yang dibelinya. Bahkan, di sejumlah titik tempat buku dikerumuni oleh pengunjung. Utamanya titik yang menawarkan diskon. Bahkan, ada buku yang harganya Rp 1.000,- per buku. Khususnya untuk buku-buku tertentu.

Saya mengambil sebuah buku di tempat yang menawarkan harga Rp 1.000,- per buku. Namun, di buku itu tertera harga Rp 10.000,-. Setelah di kasir ternyata saya harus membayar Rp 10.000,-. Saya heran dengan tawaran harga maupun diskon dalam pameran tersebut. Dalam pamflet maupun spanduk diskonnya ditawarkan 15 % - 70 %. Juga ditawarkan door prize.

Sesuai yang tertulis di spanduk maupun pamflet, pameran itu terselenggara berkat kerjasasama antara salah satu toko buku sekaligus penerbit terkemuka di Indonesia dengan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Nganjuk. Karena itu, pameran itu mirip toko buku terkemuka tersebut yang bertempat di sebuah gedung di Nganjuk. Penataan buku, buku-buku yang dipamerkan atau yang dijual, karpet merah, dan seragam karyawannya pun menunjukkan akan merek dari toko buku tersebut.

Di kabupten Nganjuk sendiri belum ada toko buku besar. Apalagi toko buku terkemuka seperti penyelenggara dalam pameran tersebut. Umumnya toko buku besar itu ada di kota besar, seperti Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Bahkan, Jember dan Kediri sudah ada toko buku besar. Itu mengingat Jember dan Kediri memiliki kampus.

Jika dibandingkan, Kabupaten Jember juga ada sejumlah penjual buku bekas. Mirip di kota besar seperti Surabaya dan Malang. Tidak hanya menjual buku bekas, tetapi juga buku pelajaran semua jenjang sekolah. Terkadang juga buku-buku hasil jiplakan dari buku populer seperti kamus juga bisa ditemui di penjual buku bekas. Sementara itu di Nganjuk ini belum ada jenis penjual buku seperti di Jember, Surabaya maupun Malang itu.

Di Nganjuk juga ada toko buku, tetapi toko buku kecil. Jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Umumnya menjual buku pelajaran yang memang penjualannya stabil. Setahu saya hanya ada satu toko buku yang menjual buku umum di kawasan kota. Selain itu, di sebuah kecamatan di Nganjuk juga ada toko buku yang khusus menjual kitab-kitab dalam agama Islam. Keberadaan pesantren di kecamatan itu agaknya juga memengaruhi keberadaan toko buku tersebut.

Nganjuk juga memiliki kampus, antara lain dalam bentuk sekolah tinggi. Namun, tidak sebesar di Surabaya maupun Malang. Dalam hal ini, keberadaan lembaga pendidikan tinggi juga turut memengaruhi potensi sebuah kota. Kiranya inilah yang memengaruhi toko buku besar belum berani mendirikan toko di Nganjuk. Pameran itu pun juga bisa menjadi potret akan konsumen buku di Nganjuk.

Saya sempat melintas pada hari ketiga di gedung tempat pameran buku itu berlangsung. Dari sepeda motor yang terlihat, pengunjung pameran itu terbilang banyak. Kemungkinan hari terakhir, yakni 12 Desember 2010 akan lebih banyak. Apalagi, 12 Desember itu bertepatan dengan tes tulis Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD). Tak terkecuali tes tulis CPNSD Nganjuk yang akan berakhir tengah hari. Kemungkinan sebagian peserta CPNSF akan mengunjungi pameran yang buka mulai pagi sampai malam hari itu.

Puguh Utomo, alumnus Unej,

tinggal di Nganjuk

Selasa, 21 Desember 2010

Seleksi CPNS 2010

Seleksi CPNS 2010

Oktober, November, dan Desember 2010 ini di hari tertentu, media, entah cetak maupun elektronik mewartakan perihal seleksi Calon Penerimaan Penerimaan Pegawai Negeri (CPNS). Salah satu stasiun televisi nasional pada pertengahan Oktober 2010 mewartakan tantang tes tulis CPNS pada sebuah kementerian yang dilangsungkan di sebuah stadion di ibu kota. Demikian juga di internet pun bertebaran pengumuman seputar CPNS pada bulan-bulan tersebut.

CPNS setingkat kementerian, setingkat badan, setingkat komisi, dan bentuk lembaga pemerintahan yang lain yang biasa disebut CPNS pusat dilaksanakan sekitar bulan Oktober dan November 2010. Seleksi CPNS setingkat kementerian ini tidak serentak. Misalnya antara Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo). Tes tulis Kemdiknas pada 27 Oktober 2010, sedangkan Kominfo pada 27 November 2010. Perbedaan waktu tes itu memungkinkan seseorang bisa mengikuti lebih dari satu tes pada CPNS pusat.

27 Oktober 2010 itu saya merupakan salah satu peserta dengan kualifikasi akademik S-1 Sosiologi sebagai peneliti di Kemdiknas. Sejak awal saya sudah menduga, saya tidak akan lolos dalam tes yang dilangsungkan di salah satu universitas di Tangerang itu (juga bisa dibaca pada judul Nganjuk-Jakarta). Saya akan kalah dengan mahasiswa yang lebih pintar. Dugaan itu benar setelah diumumkan hasil tesnya pada 10 November 2010 silam. Namun, saya puas dengan penyelenggaraan tes yang pendaftarannya lewat internet dan berkasnya dikirim lewat pos itu.

Tes tulis Kementerian Kominfo yang diumumkan pada 8 Desember 2010 saya juga tidak lolos. Kalah dengan mahasiswa yang lebih pintar. Paling tidak saya telah berusaha mengenali kemampuan diri saya dalam berkompetisi. Saya memang sempat kecewa. Namun, rasa tidak menyesal saya sudah bisa mengikuti tes tulis itu menggantikan rasa kekecewaan saya. Masih ada jalan lain untuk berkarier dan berkarya untuk hidup ini.

Pertengahan November 2010 sampai dengan awal Desember 2010 banyak kabupaten maupun kota membuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD). Biasanya CPNS pusat pelaksanaannya memang lebih dulu daripada CPNSD. Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Semarang Kota, Kabupaten Lumajang, waktu tes tulisnya serentak, yakni 12 Desember 2010. Agaknya, CPNSD 2010 ini tes tulisnya memang serentak se-Indonesia. Itu pun memungkinkan seseorang tidak bisa ikut seleksi CPNSD lebih dari dua.

Khusus saya ingin mencatat 20 formasi sebagai penyuluh keluarga berencana (KB) di Kabupaten Nganjuk pada CPNSD tahun 2010 ini. 20 formasi itu untuk kualifikasi akademik S-1 Hukum, S-1 Sosial Politik (Sospol), S-1 Ekonomi, S-1 Psikologi, dan S-1 pendidikan (guru semua jurusan). Dalam bidang akademis, semua Strata 1 (S-1) itu biasa disebut dengan fakultas. Fakultas terdiri atas sejumlah jurusan maupun program studi.

S-1 Sospol sendiri ada jurusan atau program studi Sosiologi, Administrasi Negara, Administrasi Niaga, Hubungan Internasional (HI), Kesejahteraan Sosial (KS), dan Sosiatri. S-1 Ekonomi sendiri ada jurusan Studi Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi. Kemudian, S-1 Pendidikan (guru semua jurusan) ini terdiri atas Pendidikan Biologi, Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Sejarah, dan lain sebagainya seperti mata pelajaran yang sederajat dengan SD, SMP, maupun SMA.

20 formasi sebagai tenaga penyuluh KB sepertinya hanya ada di Kabupaten Nganjuk. Di Surabaya Kota juga ada formasi tenaga penyuluh KB, tetapi formasinya 4. Itu khusus untuk kualifikasi akademik sosiologi. Dari sejumlah segi, misalnya perkembangan kependudukan, Surabaya Kota lebih berkembang daripada Kabupaten Nganjuk. Karena itu, 20 formasi sebagai tenaga penyuluh KB itu terbilang berlebih.

Maka dari itu, ada kemungkinan yang bisa dicatat. Pertama, panitia seleksi CPNSD Nganjuk memberi kesempatan pada lulusan dari lima fakultas dalam rumpun ilmu sosial itu untuk mendaftarkan diri. Jumlah maupun lulusan dari lima fakultas itu di perguruan tinggi negeri dan swasta adalah yang terbanyak. Sebutlah lulusan Sospol, Ekonomi, Hukum, dan pendidikan.

Kedua, Kabupaten Nganjuk dalam pemerintahan bupati sekarang, khususnya dalam seleksi CPNSD, dianggap kental dengan permainan politik uang. Mungkin jual beli itu akan terjadi pada 20 formasi sebagai penyuluh KB ini. Memang, jual beli jabatan itu tergolong curang. Namun, dalam derajat tertentu kecurangan itu sepertinya akan dikesampingkan. Tulisan “Pengharaman Jual Beli PNS” oleh salah satu demonstran pada unjuk rasa tidak akan bisa membendung praktik jual beli ini.

Layaknya dalam jual beli maka ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Konon, jual beli jabatan PNS untuk S-1 ini di Nganjuk ini di atas Rp 100.000.000,-. Kiranya praktik semacam ini banyak diketahui oleh masyarakat. Uang pun kembali menunjukkan kuasanya. Sepanjang kesepakatan itu tidak menyeret seseorang ke dalam penjara. Biasanya praktik jual beli ini tak lepas dari peran calo. Jika lolos maka inilah rezeki bagi penjual, pembeli, dan calo dalam praktik tersebut. Seakan-akan orang ingin mengatakan “memang inilah zamannya”. Sungguh praktik yang sulit ditolak.

Biasanya praktik jual beli ini terjadi pada jabatan-jabatan yang kurang membutuhkan kemampuan khusus. Misalnya penyuluh Keluarga Berencana (KB) ini. Katakanlah orang ber-kecerdasan sedang dianggap bisa menjalankan jabatan tersebut. Sementara itu, jabatan yang membutuhkan kemampuan khusus misalnya dokter umum maupun dokter spesialis. Jabatan ini lazimnya memang membutuhkan kecerdasan otak di atas rata-rata orang pada umumnya. Meskipun demikian, semua jabatan sama-sama berpeluang dijual belikan. Bergantung situasi dan kondisi.

Agaknya jabatan penyuluh KB sebanyak 20 ini tak akan banyak mengganggu kinerja eksekutif di Kabupaten Nganjuk. Sesuai namanya kita mungkin tahu apa yang akan dikerjakan orang yang duduk dalam jabatan tersebut. Namun, formasi itu secara langsung akan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Artinya itu adalah uang rakyat. Formasi itu pun telah mendapat persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) lewat surat keterangan (SK) tertulisnya.

Dalam pemberitaan koran setempat, diisukan sejumlah jabatan tertentu dalam formasi 2010 ini diisukan akan digunakan sebagai rotasi PNS setempat. Lembaga “emperan” sebagai pihak ketiga, antara lain sebagai pembuat soal, juga dimunculkan oleh koran setempat. Lembaga “emperan” itu pun diisukan bisa meloloskan nama-nama tertentu yang sebelumnya telah memesan atau membeli jabatan PNS.

Keputusan politik 20 formasi penyuluh KB yang juga menyangkut hajat hidup orang banyak ini pun wajar menempati perbandingan persaingan yang sangat ketat di antara formasi lainnya. Jumlah pendaftar pun terbanyak pada tenaga teknis. Sebagaimana itu dikemukakan oleh koran setempat, perbandingannya mencapai 1:100 lebih. Artinya, satu orang peserta harus mengalahkan 100 peserta lainnya agar bisa lolos dalam tes CPNS.

Saya juga tak ingin munafik. Saya merupakan salah satu peserta dalam memperebutkan satu bangku PNS pada penyuluh KB ini. Meskipun pada akhirnya saya tidak lolos. Itu pun sudah saya tahu sebelumnya. Mungkin tanpa praktik jual beli jabatan pun saya juga tidak lolos. Antara lain karena kecerdasan otak saya yang rendah. Namun, kasihan mereka yang seharusnya lolos tergeser oleh mereka yang membeli jabatan PNS itu. Entahlah Anda akan menilai seperti apa saya soal keikutsertaan saya dalam tes tulis CPNS ini.

Saya juga tidak ingin selamanya berpandangan sinis. Di antara seluruh pelaksanaan tes tulis CPNS di negeri ini juga ada yang murni. Setiap peserta tes CPNS pun memiliki kisah yang berbeda-beda. Ada yang berkali-kali ikut, tetapi tidak lolos. Ada yang sekali ikut dan langsung lolos. Ada yang ikut tes di luar Jawa dengan alasan kompetisinya lebih rendah. Ada juga yang lolos tes CPNS karena kualifikasi akademiknya tergolong langka sehingga peluang lolos terbuka lebar. Misalnya Kesejahteraan Sosial (KS), pendidikan bahasa Jawa, maupun dokter spesialis.

Di balik itu, betapa sangat pentingnya arti sebuah pekerjaan bagi seseorang dalam hidupnya. Status, gaji, aktifitas mengisi waktu dalam keseharian, umumnya bisa diperoleh lewat suatu pekerjaan. Bahkan, banyak orang tua lebih mempriotaskan memilih menantu yang sudah bekerja. Misalnya pekerjaan sebagai PNS.

Rabu, 15 Desember 2010

Di Balik Skripsi-Saya

Di Balik Skripsi-Saya

Pertanyaan seseorang pada 7 Desember 2010 tentang skripsi di blog ini mengilhami saya menulis judul itu. Dia bertanya apakah judulnya sudah sosiologis. Pertanyaan ini kerap diajukan oleh mahasiswa sosiologi. Pertanyaan itu sekaligus sering menjadi masalah bagi mahasiswa sosiologi. Khususnya saat akan mengerjakan skripsi. Terkait itu, sebagai contoh saya ingin mengungkap kisah singkat di balik skripsi saya.

Saat semester VII saya juga bingung mengenai judul yang hendaknya saya ajukan. Beberapa judul telah saya ajukan pada dosen. Namun, tidak setiap judul disetujui. Di antaranya ada judul yang kadar sosiologisnya sangat rendah. Ada juga satu judul yang disetujui, tetapi saat itu mendapat reaksi yang kurang baik. Khususnya dari sasaran penelitian dalam judul saya itu. Akhirnya, saya tidak jadi meneruskannya.

Saya pun mencari inspirasi judul. Saya mencari contoh-contoh judul di internet. Saya juga mencari dari jurnal-jurnal di perpustakaan. Skripsi-skripsi yang alumni sosiologi Universitas Jember (Unej) hasilkan pun tak luput dari pencarian. Ketika itu saya berharap menemukan inspirasi judul dari koran maupun majalah. Dosen yang bersedia diajak berdiskusi juga saya temui.

Semua upaya itu di tengah-tengah bayangan masa studi. Semester VII itu saya hanya mengerjakan skripsi. Perkuliahan di kelas sudah selesai. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) juga sudah di atas 3,00. Jika dapat menyelesaikan skripsi pada semester VIII maka bisa menghemat waktu, tenaga, dan biaya studi saya. Walaupun pada akhirnya saya ujian skripsi pada semester XI.

Dalam pencarian itu saya ingat karya Weber (1864-1920) tentang The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam penelitian dan tesis tokoh sosiologi tersebut dikatakan perkembangan kapitalisme tidak terlepas dari semangat dalam nilai-nilai ajaran agama Protestan. Weber meneliti ordo dalam Protestan.

Jika Weber meneliti di Protestan, saya berpikir pada Islam. Di Islam untuk kasus Indonesia juga terjadi pada orang-orang Muhammadiyah. Namun, cakupan kajian itu terlampau luas. Akhirnya, saya menemukan aliran sufi dalam Islam. Di internet, saya mengetik kata “sufi” dan “Nganjuk”. “Nganjuk” adalah kebupaten, kampung halaman saya.

Di internet ada sebuah artikel yang menyebut keberadaan Jamaah Lil Muqorrobien di Kelurahan Tanjunganom, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Jamaah itu berpusat di Pondok Sufi. Saya juga menemukan artikel lain yang ditulis oleh salah seorang pengasuh sekaligus pengajar SMA di pondok tersebut. Beliau ini pula sebagai petunjuk pertama.

Singkat cerita, saya perlu waktu sekitar dua tahun sampai ujian skripsi pada 26 September 2008. Penelitian sebagai aktifitas atau pekerjaan juga diliputi oleh risiko. Dalam kemampuan diri yang terbatas, entah bagaimana mengungkapkannya. Namun, pengalaman meneliti bidang keagamaan untuk kali pertama, kejenuhan pikiran yang luar biasa dalam menulis skripsi, badai kemalasan yang sering terjadi dalam diri dalam menulis skripsi merupakan beberapa hal mengapa saya sampai butuh waktu dua tahun itu.

Sejumlah orang menilai saya terlalu idealis dalam mengerjakan skripsi. Ada pula yang sepertinya menilai saya terlalu perfeksionis. Bahkan, di antaranya menilai saya hanyut dalam penelitian tentang aliran tasawuf yang dikenal kental dengan hal-hal gaib. Mungkin juga ada yang menganggap bidang keagamaan sangat sulit untuk diteliti.

Di balik itu, umumnya sebuah penelitian yang baik, penentuan sasaran penelitian juga didasarkan atas berbagai pertimbangan. Dalam ilmu sosial, pertimbangan itu bisa berupa kaitan dengan kehidupan sosial, kaitannya dengan politik, hubungannya dengan ekonomi dari rumusan hasil penelitian itu nantinya. Itu semua mengingat jumlah anggota organisasi tersebut mencapai ribuan. Selain itu, sampai sekarang ilmu sosial, khususnya sosiologi juga masih fokus pada gerakan keagamaan.

Apalagi, fenomena organisasi keagamaan memiliki kekuatan sosial. Dalam hubungan sosial, khususnya keagamaan misalnya bagaimana hubungan sosial jamaah itu dengan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU). Misalnya, hubungannya bersifat konflik ataukah harmonis.

Hubungannya dengan politik, misalnya bagaimana sikap politik organisasi keagamaan tersebut pada partai. Dalam bidang ekonomi, misalnya bagaimana keanggotaan organisasi keagamaan tersebut dalam kegiatan ekonomi. Dalam penelitian saya sendiri lebih fokus pada bagaimana gerakan organisasi keagamaan tersebut. Jadi, juga bergantung dari sudut pandang mana penelitian itu difokuskan.

Sifat detail merupakan sifat dari penelitian, termasuk ilmu sosiologi. Dari sisi informasi, paling tidak orang mengetahui keberadaan aliran tasawuf sebagai organisasi keagamaan. Ini berkaitan dengan sudut pandang yang khas dari sosiologi. Ketiadaan sudut pandang yang khas dari sosiologi itu pula yang mampu mengaburkan identitas sosiologi.

Saya sendiri sering mengalami betapa sulitnya memakai sudut pandang sosiologi. Saya bisa saja terjebak pada penelitian keagamaan sebagaimana dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi berlatar belakang keagamaan. Saya juga bisa saja terjebak pada penelitian filsafat maupun teologi.

Tentu penelitian bidang sosiologi agama ini hanya salah satu fokus dari suatu penelitian sosiologi itu sendiri. Masih ada bidang yang lain. Misalnya sosiologi gender, sosiologi pendidikan, dan lain sebagainya. Suatu penelitian juga tidak terlepas dari konteks yang sedang terjadi dan menarik untuk diteliti. Jika bidang sosiologi pendidikan ada yang menarik dan memungkinkan untuk diteliti maka tidak ada salahnya diteliti.

Di balik itu pula, kita tahu di rak perpustakaan terdapat berbagai jenis judul skripsi sosiologi. Semuanya tampak setara, yakni diletakkan dalam rak yang sama. Entah itu skripsi yang tergolong baik atau tergolong jelek. Penghasil skripsi pun bisa lulus. Entah karena alasan batas waktu masa studi seorang mahasiswa atau alasan lainnya. Pada akhirnya, semua kembali pada diri kita masing-masing. Skripsi seperti apa yang akan kita buat.

Kamis, 02 Desember 2010

Menjadi TKI

Menjadi TKI

Di kampung ini, saya kenal dengan sejumlah orang yang dulu pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tetangga saya, seorang laki-laki yang sebaya dengan saya pernah dua tahun bekerja menjadi TKI di Malaysia. Tetangga saya itu lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tahun 2010 di kampung saya ini ada tiga orang laki-laki yang juga menjadi TKI di Malaysia. Dua di antaranya sudah menikah dan satu di antaranya lulusan STM.

Kabarnya mereka telah mengirimi uang pada keluarganya. Entah berapa jumlahnya dan berapa kali mereka mengirim selama mereka bekerja. Uang itu tentu sangat berharga bagi keluarga yang ditinggalkan. Uang itu juga sebagai bukti mereka telah bekerja. Bekerja dan mendapatkan uang dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan bekerja di kampung halaman sendiri adalah tujuan utama TKI.

Mereka bisa bekerja juga atas jasa penyalur TKI. Tiga orang yang saya ceritakan itu bisa sampai ke Malaysia juga atas jasa penyalur TKI yang notabene adalah tetangganya sendiri. Orang yang menyalurkan TKI ini dulunya juga pernah menjadi TKI. Semakin banyak orang yang diberangkatkan maka semakin banyak pula uang yang diperoleh penyalur. Bahkan, seorang penyalur yang terbilang sukses, gajinya bisa lebih besar daripada seorang TKI.

Teman saya yang lain juga pernah menjadi TKI atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong. Dia, seorang perempuan, setelah lulus dari SMEA pada 1999, merantau menjadi pembantu rumah tangga. Berita dari koran yang saya baca, gaji TKI di Hongkong yang terbilang sudah mapan bisa Rp 4 juta lebih. Sepulang dari sana, dia bisa membeli tanah. Dia terbilang sukses menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Konon, TKW di Hongkong inilah contoh, nasib TKW itu tidak seburuk yang dibayangkan.

Memang, di beberapa tempat nasib TKI memprihatinkan, seperti yang diberitakan oleh media. Misalnya, gaji yang selama beberapa bulan tidak dibayarkan, bagian tubuh yang diseterika, bagian tubuh yang dipukuli, dan lain sebagainya. Hukum pun konon tidak selalu bisa mengganjar tipe majikan yang tidak manusiawi seperti itu.

Kisah sedih seperti itu tentu tak serta merta menyurutkan orang menjadi TKI. Kita tahu, bekerja adalah naluri manusia. Menjadi TKI pun bukanlah aib. Koruptor kelas kakaplah yang tergolong aib, bahkan melanggar hukum atas hidup ini. Malah TKI dinilai sebagai pahlawan devisa meskipun beberapa kasus, negara tidak bisa memberikan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Khususnya saat TKI mendapatkan masalah. Khususnya lagi TKI yang ilegal.

Ada yang mengatakan TKI itu juga sebentuk protes sosial terhadap negara. Negara tidak bisa memberikan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Lagi pula, negara bukanlah manusia superhero yang dapat terbang tanpa sayap dan tidak mati jika ditembak. Negara adalah diri kita sendiri. Memang, menjadi TKI adalah keinginan TKI itu sendiri. Setidak-tidaknya itulah yang saya simpulkan dari media.

Sekali lagi menjadi TKI bukanlah pekerjaan yang rendah. Namun, kenyataan itu, antara lain, mungkin membuat orang berpandangan bangsa Indonesia adalah bangsa kuli. Pandangan itu juga lebih karena melihat pekerjaan TKI yang umumnya kurang prestisius. Pandangan itu pula tampaknya berkaitan dengan penilaian terhadap bangsa Indonesia, yakni antara sebagai bangsa inferior dan bangsa superior, khususnya setelah kedatangan presiden AS pada 10 November 2010 yang lalu.

Saya memang bukan seorang TKI. Telah banyak juga publikasi tentang TKI. Saya hanya ingin menulis tentang TKI dari sudut pandang saya. Saya juga sudah lama ingin menuliskannya.