Menjadi TKI
Di kampung ini, saya kenal dengan sejumlah orang yang dulu pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tetangga saya, seorang laki-laki yang sebaya dengan saya pernah dua tahun bekerja menjadi TKI di Malaysia. Tetangga saya itu lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tahun 2010 di kampung saya ini ada tiga orang laki-laki yang juga menjadi TKI di Malaysia. Dua di antaranya sudah menikah dan satu di antaranya lulusan STM.
Kabarnya mereka telah mengirimi uang pada keluarganya. Entah berapa jumlahnya dan berapa kali mereka mengirim selama mereka bekerja. Uang itu tentu sangat berharga bagi keluarga yang ditinggalkan. Uang itu juga sebagai bukti mereka telah bekerja. Bekerja dan mendapatkan uang dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan bekerja di kampung halaman sendiri adalah tujuan utama TKI.
Mereka bisa bekerja juga atas jasa penyalur TKI. Tiga orang yang saya ceritakan itu bisa sampai ke Malaysia juga atas jasa penyalur TKI yang notabene adalah tetangganya sendiri. Orang yang menyalurkan TKI ini dulunya juga pernah menjadi TKI. Semakin banyak orang yang diberangkatkan maka semakin banyak pula uang yang diperoleh penyalur. Bahkan, seorang penyalur yang terbilang sukses, gajinya bisa lebih besar daripada seorang TKI.
Teman saya yang lain juga pernah menjadi TKI atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong. Dia, seorang perempuan, setelah lulus dari SMEA pada 1999, merantau menjadi pembantu rumah tangga. Berita dari koran yang saya baca, gaji TKI di Hongkong yang terbilang sudah mapan bisa Rp 4 juta lebih. Sepulang dari sana, dia bisa membeli tanah. Dia terbilang sukses menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Konon, TKW di Hongkong inilah contoh, nasib TKW itu tidak seburuk yang dibayangkan.
Memang, di beberapa tempat nasib TKI memprihatinkan, seperti yang diberitakan oleh media. Misalnya, gaji yang selama beberapa bulan tidak dibayarkan, bagian tubuh yang diseterika, bagian tubuh yang dipukuli, dan lain sebagainya. Hukum pun konon tidak selalu bisa mengganjar tipe majikan yang tidak manusiawi seperti itu.
Kisah sedih seperti itu tentu tak serta merta menyurutkan orang menjadi TKI. Kita tahu, bekerja adalah naluri manusia. Menjadi TKI pun bukanlah aib. Koruptor kelas kakaplah yang tergolong aib, bahkan melanggar hukum atas hidup ini. Malah TKI dinilai sebagai pahlawan devisa meskipun beberapa kasus, negara tidak bisa memberikan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Khususnya saat TKI mendapatkan masalah. Khususnya lagi TKI yang ilegal.
Ada yang mengatakan TKI itu juga sebentuk protes sosial terhadap negara. Negara tidak bisa memberikan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Lagi pula, negara bukanlah manusia superhero yang dapat terbang tanpa sayap dan tidak mati jika ditembak. Negara adalah diri kita sendiri. Memang, menjadi TKI adalah keinginan TKI itu sendiri. Setidak-tidaknya itulah yang saya simpulkan dari media.
Sekali lagi menjadi TKI bukanlah pekerjaan yang rendah. Namun, kenyataan itu, antara lain, mungkin membuat orang berpandangan bangsa Indonesia adalah bangsa kuli. Pandangan itu juga lebih karena melihat pekerjaan TKI yang umumnya kurang prestisius. Pandangan itu pula tampaknya berkaitan dengan penilaian terhadap bangsa Indonesia, yakni antara sebagai bangsa inferior dan bangsa superior, khususnya setelah kedatangan presiden AS pada 10 November 2010 yang lalu.
Saya memang bukan seorang TKI. Telah banyak juga publikasi tentang TKI. Saya hanya ingin menulis tentang TKI dari sudut pandang saya. Saya juga sudah lama ingin menuliskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar